|
Emergency |
Persoalan SDA merupakan persoalan pembangunan berkelanjutan, kesejahteraan, warisan kepada generasi selanjutnya, dan eksistensi sebuah bangsa. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan tidak berdampak pada perusakan pranata sosial dan lingkungan dan tidak mengurangi kesempatan generasi mendatang untuk membangun, dengan pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan (UU 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup).
Dulu, desentralisasi yang digadang-gadang sebagai instrumen baru perubahan di era awal reformasi dalam perjalanannya cenderung menjadi sumber tekanan baru bagi sumber daya alam (SDA). Secara fakta ini terjadi karena daerah cenderung bersandar kepada eksploitasi SDA untuk meningkatkan pendapatan daerah, yang memunculkan stigma baru bahwa autonomy identik dengan automoney.
Penciptaan llusi
Bila sedikit melihat satu dasawarsa ke belakang, krisis multidimensi yang berkepanjangan saat itu lupa membangunkan Indonesia dari keterlenaan terhadap easy money karena dampak dari oil boom yang meninabobokkan kita. Pembangunan Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa belakangan ini telah sampai pada penciptaan ilusi, bahwa eksploitasi sumber daya alam seakan tak terbatas.
Fakta di lapangan ditemukan praktik-praktik eksploitasi yang mengakibatkan degradasi lingkungan. Sebagai contoh Pulau Sumatera mendapat perhatian yang luar biasa dalam beberapa minggu terakhir ini di media nasional dikarenakan sangat kritisnya kondisi terkini hutan yang ada. Persoalan yang terjadi cukup kompleks yang melibatkan pemangku kepentingan dan stakeholder, seperti pengeluaran izin massal alih fungsi hutan, perambahan hutan, eksploitasi tambang dalam ekosistem hutan, pembukaan hutan untuk perkebunan sawit, penyerobotan taman nasional, marginalisasi masyarakat kawasan hutan, keanekaragaman hayati, sumber air, sumber deposit karbon, dan lain-lain.
Degradasi lingkungan berimplikasi pada perubahan kualitas tanah, air, dan udara maupun hilangnya biota flora dan fauna. Walaupun degradasi lingkungan merupakan konsekuensi dari pembangunan, yang perlu dipertimbangkan adalah menekan seminimal mungkin dampak negatif yang muncul. Banyak kasus penyalahgunaan fungsi SDA untuk tujuan pembangunan disebabkan selain kurang kontrol terhadap pemanfatannya juga karena banyaknya pelaku yang berkepentingan dengan pengelolaan SDA.
Pengalihan fungsi hutan menjadi kawasan pertambangan misalnya, di satu sisi memberi keuntungan secara ekonomi tetapi di sisi lain akan merusak lingkungan dalam jangka panjang. Pertanyaan tentang timbangan potensi dan pemanfaatan, stok, deplesi, dan kerusakan haruslah menjadi salah satu input pemerintah daerah untuk pengelolaan SDA.
Sektor energi mengingatkan era jayanya Indonesia dalam organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC). Sejak menjadi anggota OPEC tahun 1962, Indonesia berperan aktif dalam menstabilkan jumlah produksi dan harga minyak di pasar internasional. Karena pentingnya peran yang dimainkan oleh Indonesia di OPEC telah membawa Indonesia menduduki Sekjen OPEC dan juga presiden konferensi OPEC seperti beberapa orang Indonesia yang menjabat sekjen OPEC adalah M.Sadli tahun 1976, Dr. Subroto (1980), IB Sujana (1997), dan Purnomo Yusgiantoro (2004).
Namun, saat ini status keanggotaan Indonesia di OPEC telah menjadi wacana perdebatan berbagai pihak di dalam negeri. Sebab, Indonesia saat ini dianggap telah menjadi negara pengimpor minyak (net-importer) untuk memenuhi kebutuhannya. Bagi Indonesia saat ini sudah merupakan darurat energi, khususnya BBM yang terkait dengan memenuhi kebutuhan energinya.
Relevan sekali bilamana pemerintah harus dituntut untuk mempunyai skenario-skenario penyelamatan sektor energi tersebut, misalnya dengan berinvestasi dan ekspansi disumber-sumber energi baru dan energi terbarukan.
Terbitnya Instruksi Presiden No. 10 tahun 2011 tentang moratorium hutan dan gambut adalah respon terhadap keprihatinan dunia atas tata kelola SDA di Indonesia, terutama terkait dengan pemanfaatan hutan dan lahan gambut. Aturan ini disiapkan untuk menyelamatkan kawasan hutan Indonesia yang masih tersisa sekitar 56 juta hektar. Hutan yang tersisa tersebut harus diwariskan kepada sekitar 241 juta penduduk Indonesia (sensus penduduk 2011).
Neraca SDA
Apa yang diwariskan kepada generasi berikut, seberapa banyak SDA yang diwariskan, seberapa luas dan lama, jenis dan sebaran SDA yang masih bisa dieksplotasi adalah pertanyaan-pertanyaan yang kerap kali muncul dalam pengelolaan SDA. Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan instrumen (tool) yang bisa menghitung dan memadukannya dengan informasi berbasis spasial (geospatial). Tool ini secara luas lazim dikenal dengan Neraca Sumber Daya Alam (NSDA), dan bila sudah menyentuh dimensi kesejahteraan dan lestari tool ini dipadukan dengan valuasi ekonomi SDA.
NSDA adalah neraca yang disusun untuk mengetahui entitas awal SDA yang dinyatakan dalam aktiva dan pemanfaatannya yang dinyatakan dalam pasiva dan saldo akhir cadangan SDA dalam periode tertentu. Penyusunan neraca SDA dengan memperhatikan informasi sebaran, lokasi, dan letak secara geografis dikenal sebagai NSDA spasial. Potensi SDA terkadang tidak disadari oleh pemerintah daerah setempat karena minimnya pengetahuan mereka tentang bagaimana melakukan inventarisasi dan menghitung aset SDA tersebut.
The World Comission on Environmental and Suistanable Development (WESD) menghimbau semua negara untuk mengukur pertumbuhan negara melalui penghitungan cadangan SDA yang dimiliki berikut dengan valuasi ekonominya. Dalam pertemuan Economic and Social Comission for Asia and the Pasific (ESCAP), menanggapi himbauan WESD, menyetujui bahwa instrumen untuk penilaian sumber daya alam dan lingkungan adalah melalui Natural Resources Accounting (NRA). Apabila NSDA berbicara fisik sumber daya alam di lapangan, maka NRA adalah menghitung persediaan awal (stock) dan temuan baru serta deplesi dan kerusakan.
Dalam NSDA dapat diketahui potensi, pemanfaatan, serta seberapa banyak saldo SDA yang belum termanfaatkan termasuk pula informasi dimana potensi tersebut berada. Untuk menghitung aset SDA dengan perhitungan nilai Net Rent dapat digunakan teknik valuasi ekonomi SDA. Informasi pemanfaatan dan upaya peningkatan data dukung SDA dituangkan dalam bentuk peta neraca dan tabel numerik yang mempunyai nilai informasi yang relevan untuk digunakan dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan. Berpikir ke depan, NSDA akan merupakan salah satu instrumen perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang untuk mendukung percepatan program MP3EI.
Institusi seperti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Informasi Geospasial (BIG), Badan Standardisasi Nasional (BSN), Bappenas, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian ESDM, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Pemerintah Daerah, serta Masyarakat Akuntansi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Indonesia (Masli) memiliki peran langsung terkait NSDA. Isu-isu yang muncul dari berbagai institusi tersebut diakomodasi melalui instrumen pengintegrasian dimensi regulasi, teknologi akuntansi dan valuasi, teknologi geospasial, dan standardisasi, untuk tata kelola SDA berkelanjutan.
Bagaikan kanker stadium empat, laju perusakan SDA (hutan) sudah mencapai fase "Darurat SDA" yang harus diperlambat ekspansinya melalui rencana aksi yang komprehensif untuk menyehatkan ekosistem induknya. Untuk itu keterpaduan pemangku kepentingan dan stakeholder sangat dibutuhkan yang harus berbasis regulasi yang pro-pembangunan berkelanjutan, karena masih banyak pekerjaan rumah terkait SDA yang masih terbengkalai seperti sektor lahan, sumber daya pesisir dan laut, sumber daya air, dan lain-lain.
Sasaran yang diharapkan adalah dihasilkannya rekomendasi-rekomendasi yang positif untuk menata kembali persoalan-persoalan terkait SDA, seperti regulasi, metode, standardisasi, dan kebutuhan basis data spasial yang diteruskan kepada pemerintah. Rekomendasi ini diharapkan akan mendorong pemerintah mengambil terobosan yang lebih nyata untuk mengelola SDA dengan baik.