~Aku Berfikir Maka Aku Ada~

Selasa, 05 November 2013

Posted by Unknown | File under :
Sedikit berbagi Tips n Triks Blogger, cara menambah widget berdasarkan label / category. Maksudnya disini yang seperti di bawah ini lho..


Jadi ini contohnya, saya buat label dengan nama TECHNOLOGY dan itu judul2 artikel yang ber label TECHNOLOGY bisa dilihat seperti contoh di atas.. So..langsung saja..jika sobat blogger ingin membuat widget berdasarkan label seperti di atas.. Silahkan disimak dengan seksama step by step nya di bawah ini..

1. Login dahulu ke akun blogger sobat.


2. Pilih Tata Letak


3. Tambah Gadget


4.  Pilih HTML/JavaScript


5. Copy lalu Paste kan code di bawah ini ke HTML/JavaScript

Script Code

<script style="text/javascript">
var numposts = 8;
var standardstyling = true;
</script>
<script type='text/javascript'>function showrecentposts(json) {
for (var i = 0; i < numposts; i++) {
var entry = json.feed.entry[i];
var posttitle = entry.title.$t;
var posturl;
if (i == json.feed.entry.length) break;
for (var k = 0; k < entry.link.length; k++) {
if (entry.link[k].rel == 'alternate') {
posturl = entry.link[k].href;
break;
}}
posttitle = posttitle.link(posturl);
if (standardstyling) document.write('<li>');
document.write(posttitle);}
if (standardstyling) document.write('</li>');}</script>
<script src="http://NAMABLOG.blogspot.com/feeds/posts/default/-/NAMALABEL?orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts&max-results=500"></script>

Keterangan

NAMABLOG   : ganti dengan URL blog sobat
NAMALABEL : ganti dengan Label sobat yang ingin ditampilkan, yang perlu diperhatikan juga penulisannya harus sama dengan yang di blog sobat, misalnya seperti contoh diatas itu..judul labelnya itu kebetulan memang huruf besar semua "TECHNOLOGY"..yah pokoa disesuaikanlah dengan nama label yg sebenarnya..
var numpost = 8 : ini jumlah artikel/postingan yang akan ditampilkan pada widget, ini boleh diganti sesuka hati sobat, yang penting disesuaikan dengan Label nya juga, ada berapa banyak artikel/postingan didalam Label tersebut.


6. Setelah itu klik "Simpan"


7. Yang terakhir klik "Simpan Setelan" dan "Lihat Blog"


8. Selesaaii..

Sekarang bisa anda lihat sendiri hasilnya..di blog sobat sendiri tentunya..hehe.. Nah, sobat blogger sekarang udah bisa membuat Widget berdasarkan Label/Category blog sobat sebanyak Label/Category yang sobat blogger miliki..

Cukup sekian saya kira Tips n Triks Cara Menambah Widget Artikel Berdasarkan Label / Category, semoga bermanfaat bagi kita semua..


Silahkan tinggalkan pesan/komentar/kritik/saran di kotak komentar yang ada dibawah ini.. :)

Minggu, 03 November 2013

Posted by Unknown | File under :
Emergency

Persoalan SDA merupakan persoalan pembangunan berkelanjutan, kesejahteraan, warisan kepada generasi selanjutnya, dan eksistensi sebuah bangsa. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan tidak berdampak pada perusakan pranata sosial dan lingkungan dan tidak mengurangi kesempatan generasi mendatang untuk membangun, dengan pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan (UU 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup).

Dulu, desentralisasi yang digadang-gadang sebagai instrumen baru perubahan di era awal reformasi dalam perjalanannya cenderung menjadi sumber tekanan baru bagi sumber daya alam (SDA). Secara fakta ini terjadi karena daerah cenderung bersandar kepada eksploitasi SDA untuk meningkatkan pendapatan daerah, yang memunculkan stigma baru bahwa autonomy identik dengan automoney.


Penciptaan llusi

Bila sedikit melihat satu dasawarsa ke belakang, krisis multidimensi yang berkepanjangan saat itu lupa membangunkan Indonesia dari keterlenaan terhadap easy money karena dampak dari oil boom yang meninabobokkan kita. Pembangunan Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa belakangan ini telah sampai pada penciptaan ilusi, bahwa eksploitasi sumber daya alam seakan tak terbatas.

Fakta di lapangan ditemukan praktik-praktik eksploitasi yang mengakibatkan degradasi lingkungan. Sebagai contoh Pulau Sumatera mendapat perhatian yang luar biasa dalam beberapa minggu terakhir ini di media nasional dikarenakan sangat kritisnya kondisi terkini hutan yang ada. Persoalan yang terjadi cukup kompleks yang melibatkan pemangku kepentingan dan stakeholder, seperti pengeluaran izin massal alih fungsi hutan, perambahan hutan, eksploitasi tambang dalam ekosistem hutan, pembukaan hutan untuk perkebunan sawit, penyerobotan taman nasional, marginalisasi masyarakat kawasan hutan, keanekaragaman hayati, sumber air, sumber deposit karbon, dan lain-lain.

Degradasi lingkungan berimplikasi pada perubahan kualitas tanah, air, dan udara maupun hilangnya biota flora dan fauna. Walaupun degradasi lingkungan merupakan konsekuensi dari pembangunan, yang perlu dipertimbangkan adalah menekan seminimal mungkin dampak negatif yang muncul. Banyak kasus penyalahgunaan fungsi SDA untuk tujuan pembangunan disebabkan selain kurang kontrol terhadap pemanfatannya juga karena banyaknya pelaku yang berkepentingan dengan pengelolaan SDA.

Pengalihan fungsi hutan menjadi kawasan pertambangan misalnya, di satu sisi memberi keuntungan secara ekonomi tetapi di sisi lain akan merusak lingkungan dalam jangka panjang. Pertanyaan tentang timbangan potensi dan pemanfaatan, stok, deplesi, dan kerusakan haruslah menjadi salah satu input pemerintah daerah untuk pengelolaan SDA.

Sektor energi mengingatkan era jayanya Indonesia dalam organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC). Sejak menjadi anggota OPEC tahun 1962, Indonesia berperan aktif dalam menstabilkan jumlah produksi dan harga minyak di pasar internasional. Karena pentingnya peran yang dimainkan oleh Indonesia di OPEC telah membawa Indonesia menduduki Sekjen OPEC dan juga presiden konferensi OPEC seperti beberapa orang Indonesia yang menjabat sekjen OPEC adalah M.Sadli tahun 1976, Dr. Subroto (1980), IB Sujana (1997), dan Purnomo Yusgiantoro (2004).

Namun, saat ini status keanggotaan Indonesia di OPEC telah menjadi wacana perdebatan berbagai pihak di dalam negeri. Sebab, Indonesia saat ini dianggap telah menjadi negara pengimpor minyak (net-importer) untuk memenuhi kebutuhannya. Bagi Indonesia saat ini sudah merupakan darurat energi, khususnya BBM yang terkait dengan memenuhi kebutuhan energinya.

Relevan sekali bilamana pemerintah harus dituntut untuk mempunyai skenario-skenario penyelamatan sektor energi tersebut, misalnya dengan berinvestasi dan ekspansi disumber-sumber energi baru dan energi terbarukan.

Terbitnya Instruksi Presiden No. 10 tahun 2011 tentang moratorium hutan dan gambut adalah respon terhadap keprihatinan dunia atas tata kelola SDA di Indonesia, terutama terkait dengan pemanfaatan hutan dan lahan gambut. Aturan ini disiapkan untuk menyelamatkan kawasan hutan Indonesia yang masih tersisa sekitar 56 juta hektar. Hutan yang tersisa tersebut harus diwariskan kepada sekitar 241 juta penduduk Indonesia (sensus penduduk 2011).

Neraca SDA

Apa yang diwariskan kepada generasi berikut, seberapa banyak SDA yang diwariskan, seberapa luas dan lama, jenis dan sebaran SDA yang masih bisa dieksplotasi adalah pertanyaan-pertanyaan yang kerap kali muncul dalam pengelolaan SDA. Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan instrumen (tool) yang bisa menghitung dan memadukannya dengan informasi berbasis spasial (geospatial). Tool ini secara luas lazim dikenal dengan Neraca Sumber Daya Alam (NSDA), dan bila sudah menyentuh dimensi kesejahteraan dan lestari tool ini dipadukan dengan valuasi ekonomi SDA.

NSDA adalah neraca yang disusun untuk mengetahui entitas awal SDA yang dinyatakan dalam aktiva dan pemanfaatannya yang dinyatakan dalam pasiva dan saldo akhir cadangan SDA dalam periode tertentu. Penyusunan neraca SDA dengan memperhatikan informasi sebaran, lokasi, dan letak secara geografis dikenal sebagai NSDA spasial. Potensi SDA terkadang tidak disadari oleh pemerintah daerah setempat karena minimnya pengetahuan mereka tentang bagaimana melakukan inventarisasi dan menghitung aset SDA tersebut.

The World Comission on Environmental and Suistanable Development (WESD) menghimbau semua negara untuk mengukur pertumbuhan negara melalui penghitungan cadangan SDA yang dimiliki berikut dengan valuasi ekonominya. Dalam pertemuan Economic and Social Comission for Asia and the Pasific (ESCAP), menanggapi himbauan WESD, menyetujui bahwa instrumen untuk penilaian sumber daya alam dan lingkungan adalah melalui Natural Resources Accounting (NRA). Apabila NSDA berbicara fisik sumber daya alam di lapangan, maka NRA adalah menghitung persediaan awal (stock) dan temuan baru serta deplesi dan kerusakan.

Dalam NSDA dapat diketahui potensi, pemanfaatan, serta seberapa banyak saldo SDA yang belum termanfaatkan termasuk pula informasi dimana potensi tersebut berada. Untuk menghitung aset SDA dengan perhitungan nilai Net Rent dapat digunakan teknik valuasi ekonomi SDA. Informasi pemanfaatan dan upaya peningkatan data dukung SDA dituangkan dalam bentuk peta neraca dan tabel numerik yang mempunyai nilai informasi yang relevan untuk digunakan dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan. Berpikir ke depan, NSDA akan merupakan salah satu instrumen perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang untuk mendukung percepatan program MP3EI.

Institusi seperti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Informasi Geospasial (BIG), Badan Standardisasi Nasional (BSN), Bappenas, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian ESDM, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Pemerintah Daerah, serta Masyarakat Akuntansi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Indonesia (Masli) memiliki peran langsung terkait NSDA. Isu-isu yang muncul dari berbagai institusi tersebut diakomodasi melalui instrumen pengintegrasian dimensi regulasi, teknologi akuntansi dan valuasi, teknologi geospasial, dan standardisasi, untuk tata kelola SDA berkelanjutan.

Bagaikan kanker stadium empat, laju perusakan SDA (hutan) sudah mencapai fase "Darurat SDA" yang harus diperlambat ekspansinya melalui rencana aksi yang komprehensif untuk menyehatkan ekosistem induknya. Untuk itu keterpaduan pemangku kepentingan dan stakeholder sangat dibutuhkan yang harus berbasis regulasi yang pro-pembangunan berkelanjutan, karena masih banyak pekerjaan rumah terkait SDA yang masih terbengkalai seperti sektor lahan, sumber daya pesisir dan laut, sumber daya air, dan lain-lain.

Sasaran yang diharapkan adalah dihasilkannya rekomendasi-rekomendasi yang positif untuk menata kembali persoalan-persoalan terkait SDA, seperti regulasi, metode, standardisasi, dan kebutuhan basis data spasial yang diteruskan kepada pemerintah. Rekomendasi ini diharapkan akan mendorong pemerintah mengambil terobosan yang lebih nyata untuk mengelola SDA dengan baik.


Jumat, 01 November 2013

Posted by Unknown | File under :
Cyber Crime
Belakangan ini jumlah malware yang menyasar bank (financial malware) semakin turun, tapi bukan berarti transaksi perbankan melalui Internet sudah aman. Kejahatan perbankan di Internet terlihat makin meningkat, hanya modusnya kini lebih berliku tapi kian "tak terasa".

Simak saja statistik kejahatan cyber di Ibu Kota Jakarta. Pada 2011, kerugian akibat cyber crime mencapai Rp 4 miliar dan US$ 178.876,50 dengan 520 kasus. Pada 2012, jumlah kasusnya meningkat menjadi 600 kejadian dengan kerugian Rp 5 miliar dan US$ 56.448. Pada 2013, sepanjang Januari-Maret, kerugian masyarakat sudah mencapai sekitar Rp 1 miliar. Tahun ini frekuensi laporan masyarakat atas kejahatan jenis tersebut sebanyak 3-4 laporan per hari-bandingkan dengan 2012, yang hanya 2-3 laporan per hari.

Para pembuat malware merombak program mereka untuk menghindar dari deteksi antivirus yang kian canggih di komputer nasabah dan pada server bank. Caranya, dengan melibatkan banyak strategi yang membuat modusnya lebih berliku. Salah satu cara yang digunakan adalah mengirim malware masuk lewat social engineering, phishing, dan Trojan. Karena Trojan mudah dimodifikasi, ukurannya relatif kecil dan tidak terlalu rumit dibanding financial malware.

Untuk menghindari antivirus, pelaku kini meninggalkan penyebaran virus melalui e-mail, karena penyebaran malware yang dilampirkan dalam sebuah e-mail gampang terdeteksi. Para penjahat cyber mulai memanfaatkan situs web, sehingga para pembuat  malware bisa menggunakan paksaan tanpa diketahui. Pengakses situs web itu tidak menyadari dan tetap merasa nyaman melayari homepage tersebut karena tidak merasa terganggu oleh program jahat yang sebenarnya sedang mengunduh (download) data dan  dokumen dari komputernya. Ajaibnya, pemakai tetap merasa nyaman download, browsing, dan memasukkan data perbankan elektronik, padahal di komputernya sudah bersarang malware yang mencuri data rahasia itu.

Malware itu umumnya ditempatkan di web server. Tujuannya agar malware tidak cepat terdeteksi oleh antivirus dan makin mudah dimodifikasi. Bahkan kini ada malware yang disebar menggunakan Trojan-Downloader, yang bisa menghancurkan dirinya sendiri setelah beraksi.

Nomor rekening

Tapi pelaku cyber crime mengetahui pula bahwa cara seperti itu pun akan cepat diketahui, dan pihak berwajib bisa menangkap mereka. Untuk menghindarinya, pelaku kejahatan cyber mengembangkan teknik baru, yakni merekrut orang untuk dijadikan money mule. Orang yang direkrut sebagai money mule memberikan nomor rekening bank mereka dan nantinya rekening itu bisa diisi dengan uang.

Teknik untuk mendapatkan nomor rekening bisa bermacam-macam. Misalnya, penyebaran informasi kredit tanpa agunan (KTA) melalui SMS. Dalam SMS itu disebutkan, misalnya, pinjaman dari Rp 5 juta sampai Rp 250 juta. Persyaratannya, cukup dengan fotokopi buku tabungan (di sini ada nomor rekening), fotokopi kartu kredit, dan meterai. Mereka yang diminta memfotokopi nomor rekening atau kartu kredit tidak menyadari hal tersebut.

Dengan maraknya bisnis online, seperti cybermall, cyberstore, cyber ticket, dan transaksi online, maka nomor rekening makin mudah beredar di dunia maya. Apabila nomor rekening jatuh ke tangan yang tidak bertanggung jawab, rekening tersebut nantinya akan dialiri uang hasil jarahan dari suatu bank, lalu 85-90 persen hasil jarahan ditransfer ke rekening pembuat malware dengan menggunakan layanan transfer uang, seperti MoneyGram dan E-Gold.

Melalui money mule, pelaku cyber crime menjadi sulit terdeteksi. Andai money mule dan bank berada dalam negara yang sama, mungkin tidak terlalu sulit membongkar kejahatan ini. Tapi, apabila sudah melibatkan banyak rekening dengan bank dan negara berbeda, kejahatan ini sangat sulit dilacak.

Phishing

Maraknya penggunaan transaksi elektronik dengan memakai media Internet juga menyuburkan kejahatan cyber yang disebut phishing. Tujuan utama phishing adalah mencuri data dan informasi. Para pelaku kejahatan akan menyamar sebagai organisasi legal, termasuk bank, kemudian meminta berbagai informasi mengenai kartu kredit hingga nomor rekening. Medianya biasanya melalui e-mail atau halaman situs web.

Phishing melalui e-mail biasanya berisi permintaan dari pihak bank tertentu agar nasabah memperbarui data pribadi, termasuk nomor rekening. Dalam e-mail tersebut ada link menuju formulir tertentu untuk memperbarui informasi pribadi. Link ini sudah pasti tidak menuju situs web bank Anda, melainkan milik para cybercrime. Di sini nasabah akan dikelabui, karena tampilannya dibuat sama seperti situs web bank pada umumnya. Karena website tersebut tampak seperti asli, nasabah tidak akan mencurigainya, sehingga dengan senang hati mereka akan memperbarui data dan informasi pribadi, termasuk informasi yang sebetulnya bersifat rahasia.

Cara lain adalah memodifikasi file "host" di server, sehingga penjahat bisa "membelokkan" browser ke situs lain saat melakukan browsing. Umpamanya, Anda sedang melakukan browsing ke situs bank Anda, misalnya http://www.abc.com. Browser yang digunakan tidak akan membuka situs web bank tersebut, melainkan dibelokkan ke halaman situs web lain yang tampilannya sama. Dan Anda akan mengisi data pribadi di halaman web tersebut, termasuk PIN Anda.

Solusi Keamanan

Untuk mengatasi masalah keamanan Internet, pihak perbankan harus mengeluarkan biaya tidak sedikit, dari antivirus hingga anti-spam. Soalnya, username dan password tradisional saja tidak bisa mengamankan transaksi online.

Perbankan juga harus menerapkan kode otentifikasi, sehingga nasabah, selain memasukkan username dan password, harus memasukkan kode otentifikasi. Sistem kedaluwarsa kode otentifikasi itu penting diaktifkan agar penjahat cyber tidak bisa menggunakan kode otentifikasi yang sudah didapatnya.

Pemerintah juga harus terlibat, termasuk dalam mengikat kerja sama dengan negara lain, mengingat kejahatan ini borderless. Atas dasar ini pula, Polda Metro Jaya, misalnya, bekerja sama membangun kantor cyber crime dengan Mabes Polri dan kepolisian Australia. Namun, yang tak kalah penting, Anda sebagai calon korban harus pula berhati-hati.


Posted by Unknown | File under :
Marginalisasi Perguruan Tinggi
Sampai detik ini, pemahaman publik tentang fungsi perguruan tinggi ternyata belum utuh dan masih salah kaprah. Kesalahan fatal ialah penempatan perguruan tinggi negeri sebagai unit pelaksana teknis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sementara perlakuan terhadap perguruan tinggi swasta sebagai unit usaha dari yayasan atau badan wakaf.

Dengan kedudukan seperti itu, perguruan tinggi negeri (PTN) tidak lebih dari sebuah kantor jawatan, sementara perguruan tinggi swasta (PTS) tidak lebih dari sebuah unit usaha. Artinya, di sini terjadi marginalisasi fungsi perguruan tinggi dari yang seharusnya, yakni sebagai agen pembangunan bangsa melalui pengembangan ilmu pengetahuan bagi kemaslahatan manusia.

Fungsi Marginal

Dengan fungsi yang marginal seperti diuraikan di atas, maka PTN hanya menjalankan tugas pemerintah berdasarkan segala ketentuan yang berlaku. Adapun PTS hanya menjalankan usaha yang mendatangkan keuntungan bagi yayasan atau badan wakaf.

Memang PTN dan PTS terkesan menyelenggarakan pendidikan tinggi, tetapi sejujurnya mereka belum melakukan pendidikan tinggi secara utuh dan hakiki. Apa yang dilakukan oleh PTN hanyalah formalitas persekolahan tingkat tinggi (maksudnya setelah SMA/SMK), sedangkan yang dilakukan PTS saat ini adalah persekolahan tingkat tinggi dengan memperlakukan mahasiswa sebagai komoditas.

Akibatnya, mutu pendidikan tinggi di Indonesia sangat rendah karena jauh sekali dari hakikatnya. Secara perseorangan, kualitas dosen dan mahasiswa Indonesia tidak kalah, bahkan sering kali lebih baik dibandingkan dengan negara manapun di dunia. Namun, sebagai institusi, pendidikan tinggi sangat lemah karena pengelolaannya yang tidak sesuai tuntutan zaman saat ini dan tidak sesuai dengan tantangan global yang terjadi sekarang. Telah terjadi kesalahan pemerintah dalam menata kelola perguruan tinggi di Indonesia.

Penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PTN saat ini hanya mengedepankan pencapaian target pemerintah yang sangat bermuatan politis, seperti halnya angka partisipasi kasar (APK), jumlah mahasiswa miskin, pendirian PTN baru (atau penegerian PTS) di daerah dengan alasan keterjangkauan. Semua itu ditentukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai rencana kerja tahunan.

Kementerian memperoleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mencapai target tahunan tersebut, yang kemudian didistribusikan melalui mekanisme mata anggaran baku kepada setiap PTN. Seluruh kebijakan dan teknis implementasi pelaksanaan pendidikan tinggi ditetapkan oleh kementerian, PTN hanya melaksanakan perintah kementerian di mana kementerian secara berkala melaksanakan koordinasi dan pemantauan untuk melihat sejauh mana anggaran diserap secara benar berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.

Kelihatannya tidak ada yang salah dengan mekanisme tata kelola PTN seperti itu karena kebijakan kementerian memberikan kesan bahwa tujuan pendidikan nasional akan dicapai. Namun, sejujurnya, tujuan pendidikan nasional masih belum dicapai, bahkan semakin lama semakin jauh dari pencapaian tujuan tersebut. Sebab, tujuan pendidikan nasional yang hakiki, yaitu mencerdaskan kehidupan berbangsa-bernegara, belum tersentuh oleh kebijakan kementerian. Kementerian hanya membuat target capaian fisik yang pelaksanaannya dilakukan dalam bentuk proyek fisik. Padahal, esensi pendidikan yang sebenarnya adalah pembentukan kapasitas, kompetensi, etika, sosio-kultural, kematangan, daya nalar, kerangka berpikir, dan pengambilan keputusan, yang harus dimiliki peserta didik.

Penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PTS juga belum mampu mengemban tujuan pendidikan nasional yang sebenarnya. Sebab, PTS harus memperlakukan pendidikan tinggi sebagai kegiatan bisnis yang menguntungkan. Kalau tidak, maka PTS tidak dapat bertahan hidup karena satu-satunya pendapatan PTS hanya dari uang kuliah mahasiswa, tidak ada bantuan dana yang signifikan dari kementerian ataupun dari pemerintah.

Solusi Badan Hukum

Dalam hal ini, PTS sama sekali tidak salah jika kemudian melakukan kegiatan transaksional, yaitu peserta didik membayar mahal kepada PTS dan PTS memberikan pendidikan yang terbaik sesuai harapan peserta didiknya. PTS memang tidak harus memenuhi tujuan pendidikan nasional karena harus membiayai dirinya sendiri kecuali jika kemudian pemerintah atau kementerian menugaskan misi tertentu kepada PTS dengan anggaran yang memadai. Artinya, perlu ada kebijakan nasional bahwa pemerintah dapat menugaskan PTS bersama PTN mencapai tujuan nasional pendidikan yang hakiki.

Dari pembahasan di atas, jelas sekali kunci pokok permasalahan pendidikan nasional di Indonesia, khususnya pendidikan tinggi, yaitu perguruan tinggi belum berbadan hukum: hanya perangkat kerja dari kementerian (bagi PTN) dan dari yayasan/badan wakaf (bagi PTS). Karena hanya perangkat kerja, yang dikerjakan perguruan tinggi hanya menjalankan kegiatan proyek fisik (bagi PTN) dan kegiatan yang bersifat transaksional (PTS). Seandainya perguruan tinggi berbadan hukum, maka mereka memiliki otonomi dan independensi yang akuntabel, di mana para akademisi dan peserta didik—yang notabene merupakan insan dengan dedikasi pendidikan yang terbaik—dapat mengembangkan dirinya mencapai tujuan pendidikan nasional yang hakiki.

Pembentukan perguruan tinggi berbadan hukum sangat dimungkinkan di Indonesia seandainya ada kemauan politis yang kuat dari pemerintah dan legislatif, sebagaimana halnya yang terjadi di sejumlah negara di dunia, dengan seluruh perguruan tingginya berbadan hukum. Perangkat hukum hendaknya tidak dijadikan kendala demi terbentuknya perguruan tinggi berbadan hukum. Justru sebaliknya, perangkat hukum dirancang sedemikian rupa demi terwujudnya perguruan tinggi berbadan hukum.

Satu hal yang harus menjadi perhatian pemerintah, legislatif, dan publik, yaitu otonomi bukanlah komersialisasi atau privatisasi. Pemerintah tetap berkewajiban mendanai perguruan tinggi berbadan hukum sesuai penugasan yang diamanahkan, yaitu mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti halnya di sejumlah negara di dunia, perguruan tingginya berbadan hukum dan pemerintah mendanai perguruan tingginya.


Reference : Satryo Soemantri Brodjonegoro
                 Dirjen Dikti (1999-2007); Guru Besar ITB; dan Anggota AIPI


Posted by Unknown | File under :
Pemekaran Daerah
Jimat baru bernama pemekaran daerah? Pertanyaan retorik tersebut jelas bukan mengada-ada. Sejak era desentralisasi dan otonomi daerah, banyak rakyat dan elite politik yang sepertinya meyakini benar bahwa ‘pemekaran daerah’ merupakan jalan pintas tercepat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Maka, lazimnya sebuah ‘jimat’, tumbal pun seolah merupakan sebuah keniscayaan yang tak perlu disesali.

Demikianlah, untuk kesekian kalinya isu pemekaran daerah kembali memakan korban. Akhir bulan lalu (29 April 2013) empat warga tewas dalam bentrokan yang menuntut terbentuknya Kabupaten Musi Rawas Utara. Tragedi serupa juga pernah menimpa Ketua DPRD Provinsi Sumatra Utara Abdul Azis Angkat pada 2009. Disadari atau tidak, dalam realitasnya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat justru banyak diwarnai konflik dan kekerasan akibat pemekaran daerah.

Sesungguhnya sejak 2009 pemerintah telah menetapkan moratorium pemekaran daerah. Pemerintah juga telah membuat buku desartada (desain besar penataan daerah) 2010-2025. Namun, kenyataannya pemerintah sepertinya tak kuasa menahan kuatnya syahwat politik daerah dan pusat. Lima daerah otonomi baru pun lahir (25/10/2012). Kenyataan itu tentunya telah menafikan evaluasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sendiri, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan beberapa lembaga nonpemerintah yang menyatakan masalah pemekaran daerah cenderung berdampak negatif, khususnya, karena telah menciptakan perluasan struktur organisasi pemerintah yang membebani pembiayaan negara dan kapasitas fiskal.

Kalaupun ada beberapa daerah otonom baru yang relatif berhasil, jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Sebagian besarnya justru bermasalah.

Bukan Jimat

Secara teoretis proses pemekaran daerah cukup berat karena harus memenuhi beberapa syarat penting. Persyaratan itu mulai administratif berupa persetujuan masyarakat lokal, DPRD kabupaten/kota, kepala daerah, dan persetujuan pemerintah pusat; syarat teknis berupa kemampuan keuangan daerah, jumlah penduduk, potensi ekonomi daerah, sistem sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanannya; sampai syarat fisik wilayah berupa keharusan untuk memiliki sekurang-kurangnya lima kabupaten/kota untuk membentuk provinsi, lima kecamatan untuk kabupaten, dan empat kecamatan untuk kota. Namun, dalam realitasnya tidak jarang syarat objektif tersebut tenggelam di bawah derasnya arus kepentingan dan lobi-lobi politik.

Tingginya syahwat politik yang didorong tekad untuk bagi-bagi kekuasaan di tingkat lokal acap kali membutakan para elite politik lokal akan kondisi, realitas, kapabilitas, dan kapasitas objektif daerah yang perlu dimekarkan. Selain karena adanya jaminan dana transfer dari pusat ke daerah, syahwat politik tersebut juga tumbuh subur karena secara yuridis instrumen peraturan perundang-undangan tentang pemekaran daerah terlalu longgar. Peraturan perundang-undangan yang ada bukannya mendorong terjadinya penggabungan daerah, melainkan cenderung memunculkan maraknya pemekaran daerah.

Apa pun latar belakang dan rationale lahirnya daerah pemekaran, yang jelas pemekaran daerah bukanlah jimat yang serta-merta dapat mewujudkan kesejahteraan yang diharapkan rakyat. Sukses tidaknya daerah otonom baru (DOB) sangat bergantung pada kerja keras dari semua stakeholder dan kuatnya political commitment dari elite politik lokal dan birokrasi. Meskipun DOB memperoleh dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK), dalam kenyataannya daerahdaerah tersebut tak mudah untuk dikembangkan secara cepat. Ada banyak tantangan dan persoalan berat yang umumnya dihadapi DOB, mulai kualitas SDM aparat pemerintah daerah (pemda) dan legislatif yang rendah, sarana dan prasarana pemerintahan yang minim, kapasitas manajemen pemerintahan yang tidak memadai, tingkat pendidikan penduduknya yang rendah, sampai persoalan batas wilayah atau konflik perbatasan dan lokasi ibu kota.

Fakta memperlihatkan banyak DOB yang cenderung terbelakang dan gagal memenuhi syarat esensial tujuan didirikannya pemerintahan daerah baru. Kondisi itu makin menambah daftar panjang jumlah daerah tertinggal. Dengan kata lain, pelayanan publik tetap buruk, kesejahteraan masyarakat tidak meningkat, dan demokrasi lokal tidak membaik.

Benarlah bahwa esensi pemekaran daerah ialah memperpendek rentang kendali (span of control) antara pengambil kebijakan dan masyarakat dan juga untuk menciptakan pemerataan pembangunan. Namun, konsentrasi kegiatan dan pertumbuhan pembangunan yang selama ini berada di ibu kota pemda perlu dicarikan solusinya agar tak mengulang pengalaman daerah induk. Esensi pewujudan kesejahteraan rakyat sejatinya terletak pada kemampuan pemerintah dalam membangun system manajemen pemerintahan dan birokrasi yang melayani rakyat secara merata dan berkeadilan. Bukan sekadar persoalan pemekaran daerah. Apalagi yang dasar utamanya sekadar bagi-bagi kekuasaan melalui pemekaran daerah sebagaimana yang cenderung disaksikan publik secara kasatmata selama ini.

Bahwa gagasan pemekaran daerah bukanlah barang haram jelas tak bisa dibantah. Karena faktor-faktor objektif tertentu, sejumlah daerah memang layak untuk dimekarkan. Namun, persoalan krusial yang dihadapi saat ini ialah perlunya pembenahan proses dan mekanisme pemekaran yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan agar munculnya DOB tak justru memunculkan persoalan baru yang lebih kompleks.

Pentingnya Moratorium

Sejauh ini evaluasi yang dilakukan beberapa lembaga, baik pemerintah maupun nonpemerintah, menunjukkan pemekaran cenderung berdampak negatif ketimbang positif. Beberapa di antaranya karena, pertama, aspek politik pemekaran daerah terlalu mengedepan ketimbang aspek objektifnya. Kedua, pemekaran daerah menciptakan perluasan struktur yang mengakibatkan beban berat pembiayaan. Ketiga, rendahnya kapasitas fiskal daerah sehingga menyebabkan pemerintah daerah berupaya meningkatkan pendapatan daerahnya dengan berbagai cara yang justru merugikan masyarakat dan berakibat terhadap munculnya kesenjangan. Keempat, pertambahan jumlah pemerintah daerah secara simultan meningkatkan jumlah belanja daerah dalam APBN sehingga membebani negara.

Studi empirik juga menunjukkan pemekaran tidak berkorelasi positif terhadap kemajuan ekonomi dan tidak mampu mendorong pembangunan daerah otonom baru. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi daerah tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan menyejahterakan tak selalu harus dijawab dengan pemekaran daerah. Apalagi di era teknologi informasi dewasa ini dengan kendala geografis menjadi semakin kabur. Yang menjadi persoalan pokok ialah lemahnya law enforcement, political will, political commitment elite politik dan penyelenggara negara untuk bekerja keras demi kepentingan rakyat dan bukan kepentingan politik pribadi dan kelompok kecilnya saja.

Dengan melihat banyaknya kegagalan DOB, penting bagi pemerintah untuk menyetop sementara aktivitas pemekaran melalui payung hukum yang mengikat dan dipatuhi semua pihak. Hal itu perlu dilakukan sambil menunggu pengesahan revisi UU 32/2004 yang sedang dibahas DPR dan pemerintah.

Meskipun pemekaran bukan barang haram, pengendalian dan pengawasannya diperlukan agar kerangka kebijakan untuk menetapkan langkah-langkah alternatif penyediaan pelayanan terhadap daerah-daerah yang kurang beruntung bisa dirumuskan. Untuk itu, penataan daerah seyogianya menjadi domain pemerintah pusat dalam arti menjadikan pemerintah sebagai satu-satunya pintu masuk bagi usulan pemekaran daerah.

Dalam melakukan pembinaan, penting bagi pemerintah pusat untuk mengarahkan penggunaan insentif fiskal untuk mendorong restrukturisasi administrasi. Transfer dana alokasi umum dan dana alokasi khusus ke daerah-daerah juga perlu diarahkan untuk dapat memengaruhi restrukturisasi administrasi. Bagi daerah, salah satu persoalannya ialah pentingnya menjadikan hasil sumber daya alam (SDA) lokal sebagai pendorong atau pemberi insentif bagi terwujudnya efisiensi di tingkat daerah yang dapat mempromosikan kerja sama antardaerah atau peng abungan daerah dari ada ‘pemekaran pemerintahan’.

Pentinglah bagi pemerintah pusat (Kemendagri) untuk menginformasikan kepada semua daerah bahwa dampak pemekaran akan membuat daerah induk (lama) mendapatkan alokasi DAU dan DAK yang rendah. Demikian juga dengan beberapa persoalan lainnya, seperti keharusan untuk menyerahkan sebagian SDM birokrasinya, SDA, dan sumber daya ekonomi (SDE) ke DOB. Tidak sedikit daerah induk yang kurang menyadari hal tersebut dan akhirnya menimbulkan konflik dan guncangan politik yang panjang dengan DOB.

Dengan demikian, semua stakeholder lokal (termasuk daerah induk) dan nasional perlu mempertimbangkan secara sadar sebelum memberikan dukungannya atas pemekaran daerah.

Persoalan kesejahteraan rakyat bukan semata-mata soal kedekatan fisik masyarakat dengan pemerintah daerahnya, melainkan lebih merupakan masalah manajemen birokrasi dan organisasi kerja pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik.Tidak sedikit masyarakat yang tinggal di kota sekalipun yang tidak memperoleh pelayanan memadai. Oleh karena itu, keliru bila dikatakan bahwa pemekaran daerah ialah jimat yang jitu dalam mempercepat kesejahteraan rakyat.


Reference : R Siti Zuhro
                 Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Kamis, 31 Oktober 2013

Posted by Unknown | File under :
Akhir-akhir ini ramai dipersoalkan mengenai remunerasi peneliti utama atau peneliti senior (penulis belum menggunakan istilah profesor riset) yang lebih rendah dari pada guru sekolah dasar.

Pembandingan juga dilakukan di mana penghasilan guru besar di perguruan tinggi jauh melebihi peneliti utama. Belum lagi jika dibandingkan dengan peneliti di negara maju, remunerasi peneliti kita tampak semakin kecil.

Profesor riset, nomenklatur yang digunakan oleh peneliti yang telah mencapai tingkatan tertinggi, sejujurnya merupakan sebutan yang dipaksakan dalam sistem jabatan fungsional di pemerintahan ini. Nomenklatur tersebut sengaja dibuat supaya peneliti memperoleh tunjangan tambahan yang setara dengan tunjangan guru besar di perguruan tinggi.

Tunjangan guru besar telah lama ada dalam sistem penganggaran pemerintah, sedangkan tunjangan profesor riset baru diadakan sejak tahun 2005. Sebenarnya, bagi peneliti sudah ada tunjangan ahli peneliti utama untuk mereka yang mencapai tingkatan tertinggi dalam bidang penelitian, tetapi besarannya lebih kecil daripada tunjangan guru besar. Itulah sebabnya nomenklatur profesor riset diadakan.

Profesor riset dan guru SD

Ternyata meskipun sudah ada profesor riset, pendapatan para peneliti masih rendah, bahkan lebih rendah daripada guru SD. Pembandingan ini mudah-mudahan tidak mengganggu para guru SD yang berdedikasi tinggi karena terkesan bahwa guru SD lebih rendah statusnya daripada para peneliti, di mana peneliti tidak dapat menerima kenyataan bahwa pendapatannya di bawah guru SD.

Keliru sekali apabila peneliti dibandingkan dengan guru SD ataupun dengan guru besar di perguruan tinggi. Kita tidak selayaknya membandingkan profesi tertentu dengan profesi lainnya karena sejatinya tidak ada profesi yang lebih rendah atau lebih tinggi statusnya. Setiap profesi mempunyai ruang lingkup dan tanggung jawab cakupannya masing-masing. Setiap profesi mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan masyarakat dan negara.

Pemahaman masyarakat terhadap profesi peneliti juga belum utuh. Pemerintah pun bahkan belum seutuhnya paham mengenai profesi peneliti sehingga cara pemberian remunerasinya disamakan dengan struktur gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil (PNS) pada umumnya. Memang itu cara yang paling mudah dan aman bagi pemerintah. Selain sesuai dengan undang-undang yang berlaku, juga mudah diaudit oleh pemeriksa.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sistem penggajian PNS tidak mengenal prestasi dan kinerja. Artinya, profesi apa pun akan sama gajinya selama golongannya sama. Selain itu, dalam sistem ini mereka yang rajin dan berprestasi juga mendapatkan gaji yang sama dengan mereka yang malas dan tanpa kinerja asalkan golongannya sama.

Pendek kata, sistem penggajian PNS sangat melemahkan peningkatan kinerja birokrasi dan tidak mendorong orang untuk menekuni profesinya, tetapi mendorong orang untuk mencari jabatan dalam rangka naik golongan. Selama pemerintah masih menggunakan sistem penggajian yang ada selama ini, persoalan disparitas penghasilan akan selalu ada dan tidak akan terselesaikan. Oleh karena itu pula, para PNS akan selalu mengeluh dan protes karena pendapatannya rendah, termasuk para peneliti di lembaga pemerintah.

Penataan remunerasi

Reformasi harus dilakukan dalam penataan besaran remunerasi untuk setiap profesi yang ada di negara ini. Penetapan remunerasi tak semata-mata didasarkan pada kebutuhan pasar, tetapi harus didasarkan pada kemampuan profesi yang mumpuni.

Sangat tidak etis apabila peneliti dipersalahkan karena hasil penelitiannya hanya dalam bentuk publikasi dan tidak dapat digunakan oleh industri, bahkan peneliti disalahkan karena meneliti hanya untuk minatnya, lalu pemerintah terkesan membiarkan rendahnya remunerasi peneliti. Bahkan, perhatian pemerintah terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masih sangat rendah tanpa ada kenaikan yang signifikan.

Pemerintah memang kurang peduli atau belum peduli terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi sebaliknya sangat peduli terhadap ekonomi dan keuangan. Padahal, negara akan maju jika peduli terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi karena diyakini sebagai motor penggerak kemajuan.

Bagaimana menata sistem yang tak menganggap peneliti lebih tinggi daripada guru SD? Bagaimana menata sistem yang tak menyalahkan peneliti yang hasilnya hanya berupa publikasi dan tak digunakan oleh industri?

Perlu ada konsep yang mampu menghitung atau menilai kapital intelektual yang terkandung dalam setiap individu ataupun institusi tempat individu tersebut bernaung. Besaran kapital intelektual itu kemudian digunakan untuk menakar kelayakan remunerasi, baik bagi institusi maupun individunya.

Dengan cara ini, remunerasi akan menjadi layak, terlepas dari apa pun profesinya; bisa lebih tinggi atau lebih rendah, bergantung pada kapital intelektualnya dan bukan karena status atau status sosialnya. Kapital intelektual tidak semata-mata ditera berdasarkan IQ atau intelegensinya, tetapi berdasarkan potensi menyeluruh yang ada dalam diri individu bersangkutan. Kapital intelektual akan memberikan nilai tambah sehingga kapital intelektual tersebut seyogianya terus ditingkatkan melalui pengembangan.

Dengan kapital intelektual, setiap profesi mempunyai takaran masing-masing sehingga tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi statusnya. Dengan kapital intelektual, peneliti tidak akan disalahkan karena hanya menghasilkan publikasi, bahkan akan dihargai meskipun belum ada hasil penelitiannya. Penelitian tidak selalu berhasil. Peraih Hadiah Nobel sekalipun baru berhasil setelah selama sekian tahun mengalami kegagalan.

Penganggaran lembaga riset ataupun perguruan tinggi, termasuk SD, akan memadai dan layak jika didasarkan kepada kapital intelektual yang dimiliki institusinya. Dengan demikian, pemborosan anggaran pemerintah dapat diminimalkan karena semua institusi mendapatkan anggaran yang proporsional.

Kapital intelektual merupakan tolok ukur potensi dan kinerja sekaligus sebagai tolok ukur audit oleh publik. Reformasi sistem remunerasi di semua lini, termasuk di pemerintah, seyogianya mengacu kepada kapital intelektual sehingga asa keadilan pun bisa tercapai.


Reference : Satryo Soemantri Brodjonegoro
                 Guru Besar Institut Teknologi Bandung;
                 Mantan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi


Sabtu, 19 Oktober 2013

Posted by Unknown | File under :
"Tak Ada Gading yang Tak Retak" seperti itu bilang pepatah, jadi sama halnya dengan pandangan Max Weber tentang Birokrasi, sekeren apapun konsep Birokrasi yang dibuat Max Weber tentunya tidak semua orang/kalangan bisa menerima akan hal itu, karena gak semua orang suka dengan yang keren-keren..hehe.. Nah berikut ada beberapa kritik yang disampaikan para ahli tentang pandangan Max Weber tersebut..

Max Weber

Robert K. Merton

Dalam artikelnya “Bureaucratic Structure and Personality”, Merton mempersoalkan gagasan birokrasi rasional Weber. Bagi Merton, penekanan Weber pada reliabilitas (kehandalan) dan ketepatan akan menimbulkan kegagalan dalam suatu administrasi. Mengapa? Peraturan yang dirancang sebagai alat untuk mencapai tujuan, dapat menjadi tujuan itu sendiri. Selain itu, birokrat yang berkuasa akan membentuk solidaritas kelompok dan kerap menolak perubahan. Jika para pejabat ini dimaksudkan untuk melayani publik, maka norma-norma impersonal yang menuntun tingak laku mereka dapat menyebabkan konflik dengan individu-individu warganegara. Apa yang ditekankan Merton adalah, bahwa suatu struktur yang rasional dalam pengetian Weber dapat dengan mudah menimbulkan akibat-akibat yang tidak diharapkan dan mengganggu bagi pencapaian tujuan-tujuan organisasi.

Philip Selznick

Selznick mengutarakan kritiknya atas Weber tentang Disfungsionalisasi Birokrasi. Ia fokus pada pembagian fungsi-fungsi did alam suatu organisasi. Selznick menunjukkan bagaimana sub-sub unit mewujudkan tujuan organisasi secara keseluruhan. Pembentukan departemen-departemen baru untuk meniadakan kecenderungan lama, hanya akan memperburuk situasi karena akan muncul lebih banyak sub-sub unit tujuan.

Talcott Parsons

Parsons fokus pada kenyataan bahwa staf administrasi yang dimaksud Weber, telah didefinisikan sebagai yang memiliki keahlian profesional dan juga hak untuk memerintah. Atribut-atribut seperti itu, kilah Parsons, dapat memunculkan konflik di dalam birokrasi, karena tidak mungkin untuk memastikan bahwa posisi dalam hirarki otoritas akan diiringi oleh keterampilan profesional yang sepadan. Akibatnya, timbul persoalan bagi angggota organisasi: Siapa yang harus dipatuhi? Orang yang memiliki hak untuk memerintah atau orang yang memiliki keahlian yang hebat?

Alvin Gouldner

Gouldner melanjutkan kritik Parsons atas Weber. Gouldner memuatnya dalam Pattern of Industrial Bureaucracy. Dalam analisisnya tentang dasar kepatuhan dalam suatu organisasi, Gouldner menyimpulkan argumennya pada konflik antara otoritas birokrati dan otoritas profesional. Ia membedakan 2 tipe birokrasi yang utama: “Pemusatan-Hukuman (punishment centered) dan Perwakilan (representative). Pada tipe punishment centered, para anggota birokrasi pura-pura setuju dengan peraturan yang mereka anggap dipaksakan kepada mereka oleh suatu kelompok yang asing. Sedang pada tipe Representative, para anggota organisasi memandang peraturan sebagai kebutuhan menurut pertimbangan teknis dan diperlukan sesuai dengan kepentingan meerka sendiri. Dua sikap yang berbeda terhadap peraturan ini memiliki pengaruh yang mencolok pada pelaksanaan organisasi yang efisien.

R.G. Francis dan R.C. Stone

Francis dan Stone melanjutkan kritik Gouldner dalam buku mereka Service and Procedure in Bureaucracy. Francis dan Stone menunjukkan bahwa walaupun literatur resmi tentang organisasi dapat melarang impersonalitas dan kesetiaan yang kuat pada prosedur yang sudah ditentukan, tetapi dalam prakteknya para staf birokrasi dapat menyesuaikan tindakan mereka dengan keadaan-keadaan yang cocok dnegan kebutuhan-kebutuhan individu.

Rudolf Smend

Smend sama seperti Weber, berasal dari Jerman. Ia mengeluhkan bahwa Weber bertanggung jawab terhadap kesalahpahaman pemahaman tentang administrasi sebagai mesin rasional. Sementara pada pejabatnya hanyalah mengemban fungsi-fungsi teknis. Hakim dan pejabat administrasi bukan merupakan etres inanimes. Mereka adalah makhluk berbudaya (gestig) dan makhluk sosial yang secra aktif mengemban fungsi-fungsi tertentu di dalam keseluruhan budaya. Apa yang dilakuka oleh manusia-manusia seperti itu ditentukan oleh keseluruhan budaya, yang diorientasikan melalui fungsi-fugnsinya, dan pada gilirannya membantu menentukan hakikat dari seseluruhan budaya tersebut. Dalam menerangkan hal ini, Smend menambahkan, masuk akal jika orang-oorang sosialis mengeluhkan “keadilan yang borjuistis.”

Reinhard Bendix

Bendix berpendapat bahwa efisiensi organisasi tidak dapat dinilai tanpa mempertimbangkan aturan-aturan formal dan sikap-sikap manusia terhadapnya. Dalam bukunya Higher Civil Servants in American Society, Bendix membantah adanya kemauan mematuhi undang-undang tanpa campur tangan dari nilai-nilai sosial dan politik yang umum. Semua peraturan diterapkan pada kasus-ksus tertentu, dan dalam menentukan apakah suatu kasus berada di bawah peraturan, seorang pejabat arus mengemukakan alasan-alasan yang dapat dijadikan pertimbangan. Dalam membuat pertimbangannya, pejabat menemukan suatu dilema. Di satu sisi, jika terlalu tunduk dengan undang-undang ia secara populer disebut bersikap birokratis. Tetapi, di sisi lain, jika ia terlalu percaya pada inisiatif semangat kemanusiaan, sepanjang hal itu tidak tertulis di dalam kitab perundang-undangan, maka tindakannya secara populer disebut sebagai suatu penyalahgunaan kekuasaan, karena mencampuri hak prerogatif badan legislatif.

Carl Friedrich

Seorang lainnya, Carl Friedrich, mengkritisi pendapat Weber bahwa seorang birokrat selalu harus bertindak sesuai aturan yang tertulis. Kenyataannya, peraturan-peraturan merupakan petunjuk yang tidak lengkap untuk bertindak. Ini artinya, faktor-faktor di luar peraturan harus dipertimbangkan oleh ilmuwan sosial dalam menginterpretasikan tindakan pejabat. Kemungkinan interpretasi ini menggambarkan perlunya pilihan untuk digunakan sebagai pertimbangan setiap administrator. Ini berlawanan dengan pendapat Weber, yang membenarkan birokrati untuk menghindari semua tanggung jawab atas tindakannya. Bagi Friedrich, seorang birokrat bisa bertindak di luar ketentuan teknis, ataupun menurut instruksi. Friedrich, sebab itu, mengkritik Weber karena mengabaikan tanggung jawab tersebut. Ia menganggap penekanan Weber terhadap otoritas membuat organisasi sosial jadi menyerupai organisasi militer. Ia menghalangi setiap jenis konsultasi, dan hanya mengandalkan pola kooperatisme.

Peter Blau

Bagi Blau, dalam bukunya The Dynamic of Bureaucracy, pandangan yang fleksibel tetap harus berlangsung di organisasi rasional sekalipun (birokrasi). Di dalam lingkungan yang berubah, pencapaian atas tujuan organisasi bergantung pada perubahan secara terus-menerus di dalam struktur birokrasi. Karena itu, efisiensi tidak dapat dijamin dengan membelenggu pejabat melalui seperangkat undang-undang yang kaku. Hanya dengan membolehkan pejabat mengidentifikasi tujuan-tujuan organisasi sebagai suatu keseluruhan, dan menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan persepsinya tentang keadaan yang berubah, maka akan dihasilkan suatu administrasi yang efisien.

R. V. Presthus, W. Delaney, Joseph Lapalombara

Presthus mengamati kecenderungan birokrasi di negara-negara non Barat. Ia menganggap konsep birokrasi Weber belum tentu cocok bagi lingkungan non Barat. Ia menemukan bahwa pada industri batubara di Turki, dorongan-dorongan ekonomis dan material untuk melakukan usaha tidaklah seefektif dengan mereka yang mengusahakan hal yang sama di Barat. Kesimpulan kontra Weber juga dikemukakan W. Delaney. Bagi Delaney, administrasi bercorak patrimonial justru mungkin saja cocok bagi masyarakat dengan pembagian kerja yang sederhana dan tradisional. Juga, Joseph Lapalombara menemukan fakta bahwa birokrasi ala Cina dan Rusia lebih efektif ketimbang birokrasi Weber.

Nah jadi seperti itu beberapa kritik tajam yang disampaikan para ahli tentang pandangan Birokrasi Max Weber, para ahli tersebut berkisar pada sosiolog, teoretisi manajemen, hingga praktisi administrasi negara. Secara garis besar, keberatan pada tipikal birokrasi Weber berkisar pada masalah rasionalitas kerja orang-orang yang ada di dalam birokrasi. Peraturan mungkin saja rasional, tetapi oknum yang menjalankan aturan tersebut sangat manusiawi dan sukar untuk dinyatakan selalu rasional. Itu menurut pendapat beberapa ahli mengenai pandangan birokrasi-nya Max Weber.

Ada satu lagi kritik oleh seorang sosiolog dari Inggris, tapi sebenarnya dia bukan mengkritisi sih, tapi dia hanya menganalisa kritikan-kritikan dari para ahli di atas, kemudian dia menulis seputar pandangan para ahli tersebut tentang konsep birokrasi Max Weber. Akhirnya, ia pun mengajukan beberapa konsep seputar Birokrasi, siapakah dia??

Martin Albrow
Martin Albrow, seorang sosiolog dari Inggris. Albrow membagi 7 cara pandang mengenai birokrasi. Ketujuh cara pandang ini dipergunakan sebagai pisau analisa untuk menganalisis fenomena birokrasi yang banyak dipraktekkan di era modern. Ketujuh konsep birokrasi Albrow adalah sebagai berikut:

1. Birokrasi sebagai organisasi rasional

Birokrasi sebagai organisasi rasional sebagian besar mengikut pada pemahaman Weber. Namun, rasional di sini patut dipahami bukan sebagai segalanya terukur secara pasti dan jelas. Kajian sosial tidap pernah menghasilkan sesuatu yang pasti menurut hipotesis yang diangkat. Birokrasi dapat dikatakan sebagai organisasi yang memaksimumkan efisiensi dalam administrasi. Secara teknis, birokrasi juga mengacu pada mode pengorganisasian dengan tujuan utamanya menjaga stabilitas dan efisiensi dalam organisasi-organisasi yang besar dan kompleks. Birokrasi juga mengacu pada susunan kegiatan yang rasional yang diarahkan untuk pencapaian tujuan-tujuan organisasi. 

Perbedaan dengan Weber adalah, jika Weber memaklumkan birokrasi sebagai “organisasi rasional”, Albrow memaksudkan birokrasi sebagai “organisasi yang di dalamnya manusia menerapkan kriteria rasionalitas terhadap tindakan mereka.”

2. Birokrasi sebagai Inefesiensi Organisasi

Birokrasi merupakan antitesis (perlawanan) dari dari vitalitas administratif dan kretivitas manajerianl. Birokrasi juga dinyatakan sebagai susunan manifestasi kelembagaan yang cenderung ke arah infleksibilitas dan depersonalisasi. Selain itu, birokrasi juga mengacu pada ketidaksempurnaan dalam struktur dan fungsi dalam organisasi-organisasi besar.

Birokrasi terlalu percaya kepada preseden (aturan yang dibuat sebelumnya), kurang inisiatif, penundaan (lamban dalam berbagai urusan), berkembangbiaknya formulir (terlalu banyak formalitas), duplikasi usaha, dan departementalisme. Birokrasi juga merupakan organisasi yang tidak dapat memperbaiki perilakunya dengan cara belajar dari kesalahannya. Aturan-aturan di dalam birokrasi cenderung dipakai para anggotanya untuk kepentingan diri sendiri.

3. Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.

Birokrasi merupakan pelaksanaan kekuasaan oleh para administrator yang profesional. Atau, birokrasi merupakan pemerintahan oleh para pejabat. Dalam pengertian ini, pejabat memiliki kekuasaan untuk mengatur dan melakukan sesuatu. Juga, seringkali dikatakan birokrasi adalah kekuasaan para elit pejabat. 

4. Birokrasi sebagai administrasi negara (publik)

Birokrasi merupakan komponen sistem politik, baik administrasi pemerintahan sipil ataupun publik. Ia mencakup semua pegawai pemerintah. Birokrasi merupakan sistem administrasi, yaitu struktur yang mengalokasikan barang dan jasa dalam suatu pemerintahan. Lewat birokrasi, kebijakan-kebijakan negara diimplementasikan. 

5. Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan pejabat.

Birokrasi dianggap sebagai sebuah struktur (badan). Di struktur itu, staf-staf administrasi yang menjalankan otoritas keseharian menjadi bagian penting. Staf-staf itu terdiri dari orang-orang yang diangkat. Mereka inilah yang disebut birokrasai-birokrasi. Fungsi dari orang-orang itu disebut sebagai administrasi.

6. Birokrasi sebagai suatu organisasi

Birokrasi merupakan suatu bentuk organisasi berskala besar, formal, dan modern. Suatu organisasi dapat disebut birokrasi atau bukan mengikut pada ciri-ciri yang sudah disebut.

7. Birokrasi sebagai masyarakat modern

Birokrasi sebagai masyarakat modern, mengacu pada suatu kondisi di mana masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang diselenggarakan oleh birokrasi. Untuk itu, tidak dibedakan antara birokrasi perusahaan swasta besar ataupun birokrasi negara. Selama masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang ada di dua tipe birokrasi tersebut, maka dikatakan bahwa masyarakat tersebut dikatakan modern.
 
Itulah 7 konsep cara pandang dari Martin Albrow yang sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep yang dibuat oleh Max Weber tentang Birokrasi. Masih banyak cara pandang dan konsep-konsep lainnya tentang Birokrasi yang tentunya akan muncul dan berkembang sesuai dengan perkembangan jaman, karena pada hakikatnya itu semua akan ada seiring dengan bertambahnya kebutuhan dan orang akan selalu berfikir juga mencari untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sama halnya dengan IPTEK yang selalu ada yang baru. Jadi kritik dan saran itu memang seharusnya bisa diterima untuk menyempurnakan dan mengembangkan apa yang belum sempurna dan apa yang harus dikembangkan. Yah tujuan akhirnya adalah untuk kebaikan dan perbaikan didalam kehidupan, hari ini..esok..dan seterusnya.. 
 
 
~Semoga Bermanfaat~

Jumat, 18 Oktober 2013

Posted by Unknown | File under :
Max Weber dan Birokrasi
Edisi kali ini saya akan memaparkan tentang tipe ideal Birokrasi dari Max Weber. Pada artikel sebelumnya sudah dibahas tentang biografi dari seorang Max Weber (1864-1920) seorang ahli sosiologi Jerman, merupakan salah satu perintis utama studi mengenai organisasi. Weber hidup dalam situasi masyarakat yang penuh perubahan. Pada masa itu di Eropa terjadi peningkatan besar-besaran dalam proses industrialisasi serta dalam penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Max Weber merupakan salah satu diantara beberapa pemikir yang menaruh perhatian besar pada perubahan-perubahan tersebut.

Konsep Weber yang paling monumental adalah analisisnya mengenai tipe ideal Birokrasi yang kemudian menempatkannya sebagai salah satu tokoh terpenting di antara banyak perintis Teori Organisasi. Konsep Weber tentang Birokrasi sangat berbeda tentang pandangan umum yang melihat sisi negatif dari Birokrasi. Weber mengkonsepsikan Birokrasi sebagai tipe ideal, yang dalam kenyataannya tidak akan pernah dijumpai satu Birokrasi pun yang memiliki kesamaan secara sempurna dengan tipe idealnya Weber.

Sebelum masuk lebih dalam pada pandangan Max Weber tentang Birokrasi ada baiknya kita flashback dulu kebelakang  mengenai pengertian Birokrasi ditinjau dari sisi Etimologi-nya atau asal kata atau bahasa-nya. Jadi Birokrasi itu berasal dari kata "Bureaucratie" yang berasal dari bahasa Perancis, terdiri dari kata "Bureau" yang artinya Meja Tulis dan "Cratein" yang artinya Kekuasaan, klo secara terminologi bisa dikatakan Birokrasi adalah kekuasaan berada pada orang-orang di belakang meja atau dengan kata lain kekuasaan dijalankan oleh para pejabat yang bahasa kerennya "Birokrat", pejabat atau birokrat disini yah adalah orang-orang yang menjalankan tugas dan wewenang sesuai dengan aturan didalam organisasi, jangan salah persepsi tentang kata pejabat, pejabat itu sebenarnya bukan sesuatu yang wahh, karena pejabat itu ada levelnya, seorang staff administrasi itu juga adalah seorang pejabat, tapi pejabat level bawah, klo kepala dinas atau kepala departemen itu pejabat level menengah, nah klo yang wahh itu walikota atau gubernur itu pejabat level atas. Pada masa kontemporer Birokrasi adalah "mesin" yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang ada di organisasi pemerintahan maupun swasta. Pada puncuk kekuasaan organisasi terdapat sekumpulan orang yang menjalankan kekuasaan tidak sesuai dengan aturan atau dengan kata lain terjadi penyimpangan didalam Birokrasi itu sendiri, contohnya lembaga-lembaga kenegaraan atau parlemen atau pemerintah..hehe..

Max Weber sendiri sebenarnya tidak pernah menyebutkan secara definitif makna dari Birokrasi itu sendiri. Weber keceplosan menyebut konsep ini kemudian menganalisis ciri-ciri apa yang seharusnya melekat pada Birokrasi. Keceplosannya Max Waber itu tadi bukan berarti ada asap tapi gak ada api loh yah, jadi gejala Birokrasi yang dikaji Weber sesungguhnya adalah Birokrasi-patrimonial, Birokrasi ini terjadi pada masa hidupnya Weber, yaitu Birokrasi yang dikembangkan pada Dinasty Hohenzollern di Prussia. Birokrasi itu dianggap oleh Weber sebagai sesuatu yang tidak rasional, karena banyak pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan Dinasty. Akibatnya banyak pekerjaan negara yang "salah-urus" atau "miss understanding" dan hasilnya jadi tidak maksimal. Atas dasar "ketidakrasionalan" itu, Weber kemudian mengembangkan apa yang seharusnya melekat didalam Birokrasi.

Weber memusatkan perhatian pada pertanyaan: mengapa orang merasa wajib untuk mematuhi perintah tanpa melakukan penilaian kaitan dirinya dengan nilai dari perintah tersebut. Fokus ini merupakan salah satu bagian dari penekanan Weber terhadap organisasi kemasyarakatan sebagai keseluruhan dan peranan negara pada khususnya. Ia mengatakan bahwa kepercayaan bawahan terhadap legitimasi akan menghasilkan kestabilan pola kepatuhan dan perbedaan sumber perintah dalam sistem organisasi. Otoritas tidak tergantung pada ajakan kepada kepentingan bawahan dan perhitungan untung rugi pribadi, atau pada motif suka tidak suka, itulah sebabnya tidak ada otoritas yang tergantung pada motif-motif ideal. Weber mengemukakan tiga tipe ideal dari otoritas, yaitu sebagai berikut :

1.     Otoritas Tradisional

Otoritas tradisional meletakkan dasar-dasar legitimasi pada pola pengawasan sebagaimana di berlakukan dimasa lampau dan yang kini masih berlaku. Legitimasi amat dikaitkan dengan kewajiban penduduk untuk menuangkan loyalitas pribadinya kepada siapa yang menjadi kepalanya. Para pemegang otoritas merasa takut untuk merenggangkan cara pengerjaan tradisional,  karena perubahan berikutnya akan menggerogoti sumber-sumber legitimasinya.

2.     Otoritas Kharismatik

Otoritas ini timbul karena penghambaan seseorang kepada individu yang memiliki hal-hal yang tidak biasa. Individu yang dipatuhi tersebut misalnya mempunyai sikap heroik, ciri dan sifat pribadi lainnya yang amat menonjol. Kedudukan seorang pemimpin kharismatik tidaklah diancam oleh kriteria tradisional, seorang pemimpin kharismatik tidaklah dibelenggu oleh aturan tradisional. Pemimpin seperti ini dan segala komandonya selalu dipatuhi oleh para pengikutnya yang dipandang dapat memimpinnya ke arah pencapaian tujuannya. Para pengikut mematuhinya, karena penghambaan diri, bukan karena hukum yang memaksanya untuk patuh. Menurut Weber tipe otoritas tradisional dan tipe kharismatik terdapat dalam hampir semua aktivitas organisasi sebelum adanya revolusi industri.

3.     Otoritas Legal-Rasional

Otoritas ini didasarkan atas aturan yang bersifat tidak pribadi impersonal yang ditetapkan secara legal. Kesetiaan atau kepatuhan adalah manakala seseorang melaksanakan otoritas kantornya hanya dengan loyalitas formal dan pimpinannya dan hanya dalam jangkauan otoritas kantornya. Otoritas legal-raisonal memang didasarkan atas aturan-aturan yang pasti. Aturan bisa saja terdapat perubahan untuk dapat mengikuti perubahan yang terjadi didalam lingkungannya secara sistematis, dan mengandung perkiraan masa mendatang.

Weber terkenal dengan konsepnya mengenai organisasi Birokrasi yang ideal dengan menyertakan 8 karakteristik struktural, antara lain :

Pertama, aturan-aturan yang disahkan, regulasi, dan prosedur yang distandarkan dan arah tindakan anggota organisasi dalam pencapaian tugas organisasi. Weber menggambarkan pengembangan rangkaian kaidah dan panduan spesifik untuk merencanakan tugas dan aktivitas organisasi.

Kedua, spesialisasi peran anggota organisasi memberikan peluang kepada divisi pekerja untuk menyederhanakan aktivitas pekerja dalam menyelesaikan tugas yang rumit. Dengan memecah tugas-tugas yang rumit ke dalam aktivitas khusus tersebut, maka produktivitas pekerja dapat ditingkatkan.

Ketiga, hirarki otoritas organisasi formal dan legitimasi peran kekuasaan anggota organisasi didasarkan pada keahlian pemegang jabatan secara individu, membantu mengarahkan hubungan intra personal di antara anggota organisasi guna menyelesaikan tugas-tugas organisasi.

Keempat, pekerjaan personil berkualitas didasarkan pada kemampuan tehnik yang mereka miliki dan kemampuan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka. Para manajer harus mengevaluasi persyaratan pelamar kerja secara logis, dan individu yang berkualitas dapat diberikan kesempatan untuk melakukan tugasnya demi perusahaan.

Kelima, mampu tukar personil dalam peran organisasi yang bertanggung jawab memungkinkan aktivitas organisasi dapat diselesaikan oleh individu yang berbeda.  Mampu tukar ini menekankan pentingnya tugas organisasi yang relatif untuk dibandingkan dengan anggota organisasi tertentu yang melaksanakan tugasnya-tugasnya.

Keenam, impersonality dan profesionalisme dalam hubungan intra personil di antara anggota organisasi mengarahkan individu ke dalam kinerja tugas organisasi. Menurut prinsipnya, anggota organisasi harus berkonsentrasi pada tujuan organisasi dan mengutamakan tujuan dan kebutuhan sendiri. Sekali lagi, ini menekankan prioritas yang tinggi dari tugas-tugas organisasi di dalam perbandingannya dengan prioritas yang rendah dari anggota organisasi individu.

Ketujuh, uraian tugas yang terperinci harus diberikan kepada semua anggota organisasi sebagai garis besar tugas formal dan tanggung jawab kerjanya. Pekerja harus mempunyai pemahaman yang jelas tentang keinginan perusahaan dari kinerja yang mereka lakukan.

Kedelapan, rasionalitas dan predictability dalam aktivitas organisasi dan pencapaian tujuan organisasi membantu meningkatkan stabilitas organisasi. Menurut prinsip dasarnya, organisasi harus dijalankan dengan kaidah dan panduan pemangkasan yang logis dan bisa diprediksikan.

Menurut Weber, jika kedelapan karakteristik di atas diaplikasikan ke dalam Birokrasi maka Birokrasi tersebut dapat dikatakan legal-rasional. Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin (superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya.

Weber memperhatikan fenomena kontrol superordinat atas subordinat. Kontrol ini, jika tidak dilakukan pembatasan, berakibat pada akumulasi kekuatan absolut di tangan superordinat. Akibatnya, organisasi tidak lagi berjalan secara rasional melainkan sesuai keinginan pemimpin belaka. Bagi Weber, perlu dilakukan pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada di dalam birokrasi, yang meliputi point-point berikut:

Kolegialitas. Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam pengambilan suatu keputusan. Weber mengakui bahwa dalam birokrasi, satu atasan mengambil satu keputusan sendiri. Namun, prinsip kolegialitas dapat saja diterapkan guna mencegah korupsi kekuasaan.

Pemisahan Kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih. Misalnya, untuk menyepakati anggaran negara, perlu keputusan bersama antara badan DPR dan Presiden. Pemisahan kekuasaan, menurut Weber, tidaklah stabil tetapi dapat membatasi akumulasi kekuasaan.

Administrasi Amatir. Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah tidak mampu membayar orang-orang untuk mengerjakan tugas birokrasi, dapat saja direkrut warganegara yang dapat melaksanakan tugas tersebut. Misalnya, tatkala KPU (birokrasi negara Indonesia) “kerepotan” menghitung surat suara bagi tiap TPS, ibu-ibu rumah tangga diberi kesempatan menghitung dan diberi honor. Tentu saja, pejabat KPU ada yang mendampingi dan mengawasi selama pelaksanaan tugas tersebut.

Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung berguna dalam membuat orang bertanggungjawab kepada suatu majelis. Misalnya, Gubernur Bank Indonesia, meski merupakan prerogatif Presiden guna mengangkatnya, terlebih dahulu harus di-fit and proper-test oleh DPR. Ini berguna agar Gubernur BI yang diangkat merasa bertanggung jawab kepada rakyat secara keseluruhan.

Representasi. Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat yang diangkat mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi, partai-partai politik dapat diandalkan dalam mengawasi kinerja pejabat dan staf birokrasi. Ini akibat pengertian tak langsung bahwa anggota DPR dari partai politik mewakili rakyat pemilih mereka. 

Dalam pandangan Weber, jika suatu organisasi memiliki dasar-dasar berupa prinsip-prinsip sebagaimana dikemukakan tersebut di atas, maka organisasi tersebut akan dapat mengatasi ketidakefisienan dan ketidakpraktisan yang sangat tipikal yang ditemukan pada banyak organisasi pada masa itu. Weber juga melihat bahwa birokrasi merupakan bentuk paling efisien dari suatu organisasi dan merupakan instrumen yang paling efisien dari kegiatan administrasi berskala besar. Jika orang membicarakan tentang organisasi, maka akan selalu kembali pada analisis dan pemikiran Weber. Hingga kini, pengertian orang mengenai birokrasi sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Max Weber. Tapi dari semua konsep pemikiran Birokrasi dari Max Weber bukan berarti semua setuju atau mengikuti konsepnya, ada sebagian orang yang menentang ataupun mengkritik konsep Birokrasi dari Max Weber itu, sehingga muncullah konsep lain selain dari konsep yang dimiliki oleh Max Weber..hehe..

Edisi selanjutkan saya akan mencoba memaparkan kritikan-kritikan dari beberapa orang yang tidak sepaham dengan Max Weber dan konsep lain tentang Birokrasi dari seseorang dibelakang Max Weber. Yah..ditunggu saja..tetap stay di Workshop Imagination Blogs..saya akan segera kembali..hahaii..


~Semoga Bermanfaat~