~Aku Berfikir Maka Aku Ada~

Kamis, 31 Oktober 2013

Posted by Unknown | File under :
Akhir-akhir ini ramai dipersoalkan mengenai remunerasi peneliti utama atau peneliti senior (penulis belum menggunakan istilah profesor riset) yang lebih rendah dari pada guru sekolah dasar.

Pembandingan juga dilakukan di mana penghasilan guru besar di perguruan tinggi jauh melebihi peneliti utama. Belum lagi jika dibandingkan dengan peneliti di negara maju, remunerasi peneliti kita tampak semakin kecil.

Profesor riset, nomenklatur yang digunakan oleh peneliti yang telah mencapai tingkatan tertinggi, sejujurnya merupakan sebutan yang dipaksakan dalam sistem jabatan fungsional di pemerintahan ini. Nomenklatur tersebut sengaja dibuat supaya peneliti memperoleh tunjangan tambahan yang setara dengan tunjangan guru besar di perguruan tinggi.

Tunjangan guru besar telah lama ada dalam sistem penganggaran pemerintah, sedangkan tunjangan profesor riset baru diadakan sejak tahun 2005. Sebenarnya, bagi peneliti sudah ada tunjangan ahli peneliti utama untuk mereka yang mencapai tingkatan tertinggi dalam bidang penelitian, tetapi besarannya lebih kecil daripada tunjangan guru besar. Itulah sebabnya nomenklatur profesor riset diadakan.

Profesor riset dan guru SD

Ternyata meskipun sudah ada profesor riset, pendapatan para peneliti masih rendah, bahkan lebih rendah daripada guru SD. Pembandingan ini mudah-mudahan tidak mengganggu para guru SD yang berdedikasi tinggi karena terkesan bahwa guru SD lebih rendah statusnya daripada para peneliti, di mana peneliti tidak dapat menerima kenyataan bahwa pendapatannya di bawah guru SD.

Keliru sekali apabila peneliti dibandingkan dengan guru SD ataupun dengan guru besar di perguruan tinggi. Kita tidak selayaknya membandingkan profesi tertentu dengan profesi lainnya karena sejatinya tidak ada profesi yang lebih rendah atau lebih tinggi statusnya. Setiap profesi mempunyai ruang lingkup dan tanggung jawab cakupannya masing-masing. Setiap profesi mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan masyarakat dan negara.

Pemahaman masyarakat terhadap profesi peneliti juga belum utuh. Pemerintah pun bahkan belum seutuhnya paham mengenai profesi peneliti sehingga cara pemberian remunerasinya disamakan dengan struktur gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil (PNS) pada umumnya. Memang itu cara yang paling mudah dan aman bagi pemerintah. Selain sesuai dengan undang-undang yang berlaku, juga mudah diaudit oleh pemeriksa.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sistem penggajian PNS tidak mengenal prestasi dan kinerja. Artinya, profesi apa pun akan sama gajinya selama golongannya sama. Selain itu, dalam sistem ini mereka yang rajin dan berprestasi juga mendapatkan gaji yang sama dengan mereka yang malas dan tanpa kinerja asalkan golongannya sama.

Pendek kata, sistem penggajian PNS sangat melemahkan peningkatan kinerja birokrasi dan tidak mendorong orang untuk menekuni profesinya, tetapi mendorong orang untuk mencari jabatan dalam rangka naik golongan. Selama pemerintah masih menggunakan sistem penggajian yang ada selama ini, persoalan disparitas penghasilan akan selalu ada dan tidak akan terselesaikan. Oleh karena itu pula, para PNS akan selalu mengeluh dan protes karena pendapatannya rendah, termasuk para peneliti di lembaga pemerintah.

Penataan remunerasi

Reformasi harus dilakukan dalam penataan besaran remunerasi untuk setiap profesi yang ada di negara ini. Penetapan remunerasi tak semata-mata didasarkan pada kebutuhan pasar, tetapi harus didasarkan pada kemampuan profesi yang mumpuni.

Sangat tidak etis apabila peneliti dipersalahkan karena hasil penelitiannya hanya dalam bentuk publikasi dan tidak dapat digunakan oleh industri, bahkan peneliti disalahkan karena meneliti hanya untuk minatnya, lalu pemerintah terkesan membiarkan rendahnya remunerasi peneliti. Bahkan, perhatian pemerintah terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masih sangat rendah tanpa ada kenaikan yang signifikan.

Pemerintah memang kurang peduli atau belum peduli terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi sebaliknya sangat peduli terhadap ekonomi dan keuangan. Padahal, negara akan maju jika peduli terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi karena diyakini sebagai motor penggerak kemajuan.

Bagaimana menata sistem yang tak menganggap peneliti lebih tinggi daripada guru SD? Bagaimana menata sistem yang tak menyalahkan peneliti yang hasilnya hanya berupa publikasi dan tak digunakan oleh industri?

Perlu ada konsep yang mampu menghitung atau menilai kapital intelektual yang terkandung dalam setiap individu ataupun institusi tempat individu tersebut bernaung. Besaran kapital intelektual itu kemudian digunakan untuk menakar kelayakan remunerasi, baik bagi institusi maupun individunya.

Dengan cara ini, remunerasi akan menjadi layak, terlepas dari apa pun profesinya; bisa lebih tinggi atau lebih rendah, bergantung pada kapital intelektualnya dan bukan karena status atau status sosialnya. Kapital intelektual tidak semata-mata ditera berdasarkan IQ atau intelegensinya, tetapi berdasarkan potensi menyeluruh yang ada dalam diri individu bersangkutan. Kapital intelektual akan memberikan nilai tambah sehingga kapital intelektual tersebut seyogianya terus ditingkatkan melalui pengembangan.

Dengan kapital intelektual, setiap profesi mempunyai takaran masing-masing sehingga tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi statusnya. Dengan kapital intelektual, peneliti tidak akan disalahkan karena hanya menghasilkan publikasi, bahkan akan dihargai meskipun belum ada hasil penelitiannya. Penelitian tidak selalu berhasil. Peraih Hadiah Nobel sekalipun baru berhasil setelah selama sekian tahun mengalami kegagalan.

Penganggaran lembaga riset ataupun perguruan tinggi, termasuk SD, akan memadai dan layak jika didasarkan kepada kapital intelektual yang dimiliki institusinya. Dengan demikian, pemborosan anggaran pemerintah dapat diminimalkan karena semua institusi mendapatkan anggaran yang proporsional.

Kapital intelektual merupakan tolok ukur potensi dan kinerja sekaligus sebagai tolok ukur audit oleh publik. Reformasi sistem remunerasi di semua lini, termasuk di pemerintah, seyogianya mengacu kepada kapital intelektual sehingga asa keadilan pun bisa tercapai.


Reference : Satryo Soemantri Brodjonegoro
                 Guru Besar Institut Teknologi Bandung;
                 Mantan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi


Sabtu, 19 Oktober 2013

Posted by Unknown | File under :
"Tak Ada Gading yang Tak Retak" seperti itu bilang pepatah, jadi sama halnya dengan pandangan Max Weber tentang Birokrasi, sekeren apapun konsep Birokrasi yang dibuat Max Weber tentunya tidak semua orang/kalangan bisa menerima akan hal itu, karena gak semua orang suka dengan yang keren-keren..hehe.. Nah berikut ada beberapa kritik yang disampaikan para ahli tentang pandangan Max Weber tersebut..

Max Weber

Robert K. Merton

Dalam artikelnya “Bureaucratic Structure and Personality”, Merton mempersoalkan gagasan birokrasi rasional Weber. Bagi Merton, penekanan Weber pada reliabilitas (kehandalan) dan ketepatan akan menimbulkan kegagalan dalam suatu administrasi. Mengapa? Peraturan yang dirancang sebagai alat untuk mencapai tujuan, dapat menjadi tujuan itu sendiri. Selain itu, birokrat yang berkuasa akan membentuk solidaritas kelompok dan kerap menolak perubahan. Jika para pejabat ini dimaksudkan untuk melayani publik, maka norma-norma impersonal yang menuntun tingak laku mereka dapat menyebabkan konflik dengan individu-individu warganegara. Apa yang ditekankan Merton adalah, bahwa suatu struktur yang rasional dalam pengetian Weber dapat dengan mudah menimbulkan akibat-akibat yang tidak diharapkan dan mengganggu bagi pencapaian tujuan-tujuan organisasi.

Philip Selznick

Selznick mengutarakan kritiknya atas Weber tentang Disfungsionalisasi Birokrasi. Ia fokus pada pembagian fungsi-fungsi did alam suatu organisasi. Selznick menunjukkan bagaimana sub-sub unit mewujudkan tujuan organisasi secara keseluruhan. Pembentukan departemen-departemen baru untuk meniadakan kecenderungan lama, hanya akan memperburuk situasi karena akan muncul lebih banyak sub-sub unit tujuan.

Talcott Parsons

Parsons fokus pada kenyataan bahwa staf administrasi yang dimaksud Weber, telah didefinisikan sebagai yang memiliki keahlian profesional dan juga hak untuk memerintah. Atribut-atribut seperti itu, kilah Parsons, dapat memunculkan konflik di dalam birokrasi, karena tidak mungkin untuk memastikan bahwa posisi dalam hirarki otoritas akan diiringi oleh keterampilan profesional yang sepadan. Akibatnya, timbul persoalan bagi angggota organisasi: Siapa yang harus dipatuhi? Orang yang memiliki hak untuk memerintah atau orang yang memiliki keahlian yang hebat?

Alvin Gouldner

Gouldner melanjutkan kritik Parsons atas Weber. Gouldner memuatnya dalam Pattern of Industrial Bureaucracy. Dalam analisisnya tentang dasar kepatuhan dalam suatu organisasi, Gouldner menyimpulkan argumennya pada konflik antara otoritas birokrati dan otoritas profesional. Ia membedakan 2 tipe birokrasi yang utama: “Pemusatan-Hukuman (punishment centered) dan Perwakilan (representative). Pada tipe punishment centered, para anggota birokrasi pura-pura setuju dengan peraturan yang mereka anggap dipaksakan kepada mereka oleh suatu kelompok yang asing. Sedang pada tipe Representative, para anggota organisasi memandang peraturan sebagai kebutuhan menurut pertimbangan teknis dan diperlukan sesuai dengan kepentingan meerka sendiri. Dua sikap yang berbeda terhadap peraturan ini memiliki pengaruh yang mencolok pada pelaksanaan organisasi yang efisien.

R.G. Francis dan R.C. Stone

Francis dan Stone melanjutkan kritik Gouldner dalam buku mereka Service and Procedure in Bureaucracy. Francis dan Stone menunjukkan bahwa walaupun literatur resmi tentang organisasi dapat melarang impersonalitas dan kesetiaan yang kuat pada prosedur yang sudah ditentukan, tetapi dalam prakteknya para staf birokrasi dapat menyesuaikan tindakan mereka dengan keadaan-keadaan yang cocok dnegan kebutuhan-kebutuhan individu.

Rudolf Smend

Smend sama seperti Weber, berasal dari Jerman. Ia mengeluhkan bahwa Weber bertanggung jawab terhadap kesalahpahaman pemahaman tentang administrasi sebagai mesin rasional. Sementara pada pejabatnya hanyalah mengemban fungsi-fungsi teknis. Hakim dan pejabat administrasi bukan merupakan etres inanimes. Mereka adalah makhluk berbudaya (gestig) dan makhluk sosial yang secra aktif mengemban fungsi-fungsi tertentu di dalam keseluruhan budaya. Apa yang dilakuka oleh manusia-manusia seperti itu ditentukan oleh keseluruhan budaya, yang diorientasikan melalui fungsi-fugnsinya, dan pada gilirannya membantu menentukan hakikat dari seseluruhan budaya tersebut. Dalam menerangkan hal ini, Smend menambahkan, masuk akal jika orang-oorang sosialis mengeluhkan “keadilan yang borjuistis.”

Reinhard Bendix

Bendix berpendapat bahwa efisiensi organisasi tidak dapat dinilai tanpa mempertimbangkan aturan-aturan formal dan sikap-sikap manusia terhadapnya. Dalam bukunya Higher Civil Servants in American Society, Bendix membantah adanya kemauan mematuhi undang-undang tanpa campur tangan dari nilai-nilai sosial dan politik yang umum. Semua peraturan diterapkan pada kasus-ksus tertentu, dan dalam menentukan apakah suatu kasus berada di bawah peraturan, seorang pejabat arus mengemukakan alasan-alasan yang dapat dijadikan pertimbangan. Dalam membuat pertimbangannya, pejabat menemukan suatu dilema. Di satu sisi, jika terlalu tunduk dengan undang-undang ia secara populer disebut bersikap birokratis. Tetapi, di sisi lain, jika ia terlalu percaya pada inisiatif semangat kemanusiaan, sepanjang hal itu tidak tertulis di dalam kitab perundang-undangan, maka tindakannya secara populer disebut sebagai suatu penyalahgunaan kekuasaan, karena mencampuri hak prerogatif badan legislatif.

Carl Friedrich

Seorang lainnya, Carl Friedrich, mengkritisi pendapat Weber bahwa seorang birokrat selalu harus bertindak sesuai aturan yang tertulis. Kenyataannya, peraturan-peraturan merupakan petunjuk yang tidak lengkap untuk bertindak. Ini artinya, faktor-faktor di luar peraturan harus dipertimbangkan oleh ilmuwan sosial dalam menginterpretasikan tindakan pejabat. Kemungkinan interpretasi ini menggambarkan perlunya pilihan untuk digunakan sebagai pertimbangan setiap administrator. Ini berlawanan dengan pendapat Weber, yang membenarkan birokrati untuk menghindari semua tanggung jawab atas tindakannya. Bagi Friedrich, seorang birokrat bisa bertindak di luar ketentuan teknis, ataupun menurut instruksi. Friedrich, sebab itu, mengkritik Weber karena mengabaikan tanggung jawab tersebut. Ia menganggap penekanan Weber terhadap otoritas membuat organisasi sosial jadi menyerupai organisasi militer. Ia menghalangi setiap jenis konsultasi, dan hanya mengandalkan pola kooperatisme.

Peter Blau

Bagi Blau, dalam bukunya The Dynamic of Bureaucracy, pandangan yang fleksibel tetap harus berlangsung di organisasi rasional sekalipun (birokrasi). Di dalam lingkungan yang berubah, pencapaian atas tujuan organisasi bergantung pada perubahan secara terus-menerus di dalam struktur birokrasi. Karena itu, efisiensi tidak dapat dijamin dengan membelenggu pejabat melalui seperangkat undang-undang yang kaku. Hanya dengan membolehkan pejabat mengidentifikasi tujuan-tujuan organisasi sebagai suatu keseluruhan, dan menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan persepsinya tentang keadaan yang berubah, maka akan dihasilkan suatu administrasi yang efisien.

R. V. Presthus, W. Delaney, Joseph Lapalombara

Presthus mengamati kecenderungan birokrasi di negara-negara non Barat. Ia menganggap konsep birokrasi Weber belum tentu cocok bagi lingkungan non Barat. Ia menemukan bahwa pada industri batubara di Turki, dorongan-dorongan ekonomis dan material untuk melakukan usaha tidaklah seefektif dengan mereka yang mengusahakan hal yang sama di Barat. Kesimpulan kontra Weber juga dikemukakan W. Delaney. Bagi Delaney, administrasi bercorak patrimonial justru mungkin saja cocok bagi masyarakat dengan pembagian kerja yang sederhana dan tradisional. Juga, Joseph Lapalombara menemukan fakta bahwa birokrasi ala Cina dan Rusia lebih efektif ketimbang birokrasi Weber.

Nah jadi seperti itu beberapa kritik tajam yang disampaikan para ahli tentang pandangan Birokrasi Max Weber, para ahli tersebut berkisar pada sosiolog, teoretisi manajemen, hingga praktisi administrasi negara. Secara garis besar, keberatan pada tipikal birokrasi Weber berkisar pada masalah rasionalitas kerja orang-orang yang ada di dalam birokrasi. Peraturan mungkin saja rasional, tetapi oknum yang menjalankan aturan tersebut sangat manusiawi dan sukar untuk dinyatakan selalu rasional. Itu menurut pendapat beberapa ahli mengenai pandangan birokrasi-nya Max Weber.

Ada satu lagi kritik oleh seorang sosiolog dari Inggris, tapi sebenarnya dia bukan mengkritisi sih, tapi dia hanya menganalisa kritikan-kritikan dari para ahli di atas, kemudian dia menulis seputar pandangan para ahli tersebut tentang konsep birokrasi Max Weber. Akhirnya, ia pun mengajukan beberapa konsep seputar Birokrasi, siapakah dia??

Martin Albrow
Martin Albrow, seorang sosiolog dari Inggris. Albrow membagi 7 cara pandang mengenai birokrasi. Ketujuh cara pandang ini dipergunakan sebagai pisau analisa untuk menganalisis fenomena birokrasi yang banyak dipraktekkan di era modern. Ketujuh konsep birokrasi Albrow adalah sebagai berikut:

1. Birokrasi sebagai organisasi rasional

Birokrasi sebagai organisasi rasional sebagian besar mengikut pada pemahaman Weber. Namun, rasional di sini patut dipahami bukan sebagai segalanya terukur secara pasti dan jelas. Kajian sosial tidap pernah menghasilkan sesuatu yang pasti menurut hipotesis yang diangkat. Birokrasi dapat dikatakan sebagai organisasi yang memaksimumkan efisiensi dalam administrasi. Secara teknis, birokrasi juga mengacu pada mode pengorganisasian dengan tujuan utamanya menjaga stabilitas dan efisiensi dalam organisasi-organisasi yang besar dan kompleks. Birokrasi juga mengacu pada susunan kegiatan yang rasional yang diarahkan untuk pencapaian tujuan-tujuan organisasi. 

Perbedaan dengan Weber adalah, jika Weber memaklumkan birokrasi sebagai “organisasi rasional”, Albrow memaksudkan birokrasi sebagai “organisasi yang di dalamnya manusia menerapkan kriteria rasionalitas terhadap tindakan mereka.”

2. Birokrasi sebagai Inefesiensi Organisasi

Birokrasi merupakan antitesis (perlawanan) dari dari vitalitas administratif dan kretivitas manajerianl. Birokrasi juga dinyatakan sebagai susunan manifestasi kelembagaan yang cenderung ke arah infleksibilitas dan depersonalisasi. Selain itu, birokrasi juga mengacu pada ketidaksempurnaan dalam struktur dan fungsi dalam organisasi-organisasi besar.

Birokrasi terlalu percaya kepada preseden (aturan yang dibuat sebelumnya), kurang inisiatif, penundaan (lamban dalam berbagai urusan), berkembangbiaknya formulir (terlalu banyak formalitas), duplikasi usaha, dan departementalisme. Birokrasi juga merupakan organisasi yang tidak dapat memperbaiki perilakunya dengan cara belajar dari kesalahannya. Aturan-aturan di dalam birokrasi cenderung dipakai para anggotanya untuk kepentingan diri sendiri.

3. Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.

Birokrasi merupakan pelaksanaan kekuasaan oleh para administrator yang profesional. Atau, birokrasi merupakan pemerintahan oleh para pejabat. Dalam pengertian ini, pejabat memiliki kekuasaan untuk mengatur dan melakukan sesuatu. Juga, seringkali dikatakan birokrasi adalah kekuasaan para elit pejabat. 

4. Birokrasi sebagai administrasi negara (publik)

Birokrasi merupakan komponen sistem politik, baik administrasi pemerintahan sipil ataupun publik. Ia mencakup semua pegawai pemerintah. Birokrasi merupakan sistem administrasi, yaitu struktur yang mengalokasikan barang dan jasa dalam suatu pemerintahan. Lewat birokrasi, kebijakan-kebijakan negara diimplementasikan. 

5. Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan pejabat.

Birokrasi dianggap sebagai sebuah struktur (badan). Di struktur itu, staf-staf administrasi yang menjalankan otoritas keseharian menjadi bagian penting. Staf-staf itu terdiri dari orang-orang yang diangkat. Mereka inilah yang disebut birokrasai-birokrasi. Fungsi dari orang-orang itu disebut sebagai administrasi.

6. Birokrasi sebagai suatu organisasi

Birokrasi merupakan suatu bentuk organisasi berskala besar, formal, dan modern. Suatu organisasi dapat disebut birokrasi atau bukan mengikut pada ciri-ciri yang sudah disebut.

7. Birokrasi sebagai masyarakat modern

Birokrasi sebagai masyarakat modern, mengacu pada suatu kondisi di mana masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang diselenggarakan oleh birokrasi. Untuk itu, tidak dibedakan antara birokrasi perusahaan swasta besar ataupun birokrasi negara. Selama masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang ada di dua tipe birokrasi tersebut, maka dikatakan bahwa masyarakat tersebut dikatakan modern.
 
Itulah 7 konsep cara pandang dari Martin Albrow yang sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep yang dibuat oleh Max Weber tentang Birokrasi. Masih banyak cara pandang dan konsep-konsep lainnya tentang Birokrasi yang tentunya akan muncul dan berkembang sesuai dengan perkembangan jaman, karena pada hakikatnya itu semua akan ada seiring dengan bertambahnya kebutuhan dan orang akan selalu berfikir juga mencari untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sama halnya dengan IPTEK yang selalu ada yang baru. Jadi kritik dan saran itu memang seharusnya bisa diterima untuk menyempurnakan dan mengembangkan apa yang belum sempurna dan apa yang harus dikembangkan. Yah tujuan akhirnya adalah untuk kebaikan dan perbaikan didalam kehidupan, hari ini..esok..dan seterusnya.. 
 
 
~Semoga Bermanfaat~

Jumat, 18 Oktober 2013

Posted by Unknown | File under :
Max Weber dan Birokrasi
Edisi kali ini saya akan memaparkan tentang tipe ideal Birokrasi dari Max Weber. Pada artikel sebelumnya sudah dibahas tentang biografi dari seorang Max Weber (1864-1920) seorang ahli sosiologi Jerman, merupakan salah satu perintis utama studi mengenai organisasi. Weber hidup dalam situasi masyarakat yang penuh perubahan. Pada masa itu di Eropa terjadi peningkatan besar-besaran dalam proses industrialisasi serta dalam penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Max Weber merupakan salah satu diantara beberapa pemikir yang menaruh perhatian besar pada perubahan-perubahan tersebut.

Konsep Weber yang paling monumental adalah analisisnya mengenai tipe ideal Birokrasi yang kemudian menempatkannya sebagai salah satu tokoh terpenting di antara banyak perintis Teori Organisasi. Konsep Weber tentang Birokrasi sangat berbeda tentang pandangan umum yang melihat sisi negatif dari Birokrasi. Weber mengkonsepsikan Birokrasi sebagai tipe ideal, yang dalam kenyataannya tidak akan pernah dijumpai satu Birokrasi pun yang memiliki kesamaan secara sempurna dengan tipe idealnya Weber.

Sebelum masuk lebih dalam pada pandangan Max Weber tentang Birokrasi ada baiknya kita flashback dulu kebelakang  mengenai pengertian Birokrasi ditinjau dari sisi Etimologi-nya atau asal kata atau bahasa-nya. Jadi Birokrasi itu berasal dari kata "Bureaucratie" yang berasal dari bahasa Perancis, terdiri dari kata "Bureau" yang artinya Meja Tulis dan "Cratein" yang artinya Kekuasaan, klo secara terminologi bisa dikatakan Birokrasi adalah kekuasaan berada pada orang-orang di belakang meja atau dengan kata lain kekuasaan dijalankan oleh para pejabat yang bahasa kerennya "Birokrat", pejabat atau birokrat disini yah adalah orang-orang yang menjalankan tugas dan wewenang sesuai dengan aturan didalam organisasi, jangan salah persepsi tentang kata pejabat, pejabat itu sebenarnya bukan sesuatu yang wahh, karena pejabat itu ada levelnya, seorang staff administrasi itu juga adalah seorang pejabat, tapi pejabat level bawah, klo kepala dinas atau kepala departemen itu pejabat level menengah, nah klo yang wahh itu walikota atau gubernur itu pejabat level atas. Pada masa kontemporer Birokrasi adalah "mesin" yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang ada di organisasi pemerintahan maupun swasta. Pada puncuk kekuasaan organisasi terdapat sekumpulan orang yang menjalankan kekuasaan tidak sesuai dengan aturan atau dengan kata lain terjadi penyimpangan didalam Birokrasi itu sendiri, contohnya lembaga-lembaga kenegaraan atau parlemen atau pemerintah..hehe..

Max Weber sendiri sebenarnya tidak pernah menyebutkan secara definitif makna dari Birokrasi itu sendiri. Weber keceplosan menyebut konsep ini kemudian menganalisis ciri-ciri apa yang seharusnya melekat pada Birokrasi. Keceplosannya Max Waber itu tadi bukan berarti ada asap tapi gak ada api loh yah, jadi gejala Birokrasi yang dikaji Weber sesungguhnya adalah Birokrasi-patrimonial, Birokrasi ini terjadi pada masa hidupnya Weber, yaitu Birokrasi yang dikembangkan pada Dinasty Hohenzollern di Prussia. Birokrasi itu dianggap oleh Weber sebagai sesuatu yang tidak rasional, karena banyak pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan Dinasty. Akibatnya banyak pekerjaan negara yang "salah-urus" atau "miss understanding" dan hasilnya jadi tidak maksimal. Atas dasar "ketidakrasionalan" itu, Weber kemudian mengembangkan apa yang seharusnya melekat didalam Birokrasi.

Weber memusatkan perhatian pada pertanyaan: mengapa orang merasa wajib untuk mematuhi perintah tanpa melakukan penilaian kaitan dirinya dengan nilai dari perintah tersebut. Fokus ini merupakan salah satu bagian dari penekanan Weber terhadap organisasi kemasyarakatan sebagai keseluruhan dan peranan negara pada khususnya. Ia mengatakan bahwa kepercayaan bawahan terhadap legitimasi akan menghasilkan kestabilan pola kepatuhan dan perbedaan sumber perintah dalam sistem organisasi. Otoritas tidak tergantung pada ajakan kepada kepentingan bawahan dan perhitungan untung rugi pribadi, atau pada motif suka tidak suka, itulah sebabnya tidak ada otoritas yang tergantung pada motif-motif ideal. Weber mengemukakan tiga tipe ideal dari otoritas, yaitu sebagai berikut :

1.     Otoritas Tradisional

Otoritas tradisional meletakkan dasar-dasar legitimasi pada pola pengawasan sebagaimana di berlakukan dimasa lampau dan yang kini masih berlaku. Legitimasi amat dikaitkan dengan kewajiban penduduk untuk menuangkan loyalitas pribadinya kepada siapa yang menjadi kepalanya. Para pemegang otoritas merasa takut untuk merenggangkan cara pengerjaan tradisional,  karena perubahan berikutnya akan menggerogoti sumber-sumber legitimasinya.

2.     Otoritas Kharismatik

Otoritas ini timbul karena penghambaan seseorang kepada individu yang memiliki hal-hal yang tidak biasa. Individu yang dipatuhi tersebut misalnya mempunyai sikap heroik, ciri dan sifat pribadi lainnya yang amat menonjol. Kedudukan seorang pemimpin kharismatik tidaklah diancam oleh kriteria tradisional, seorang pemimpin kharismatik tidaklah dibelenggu oleh aturan tradisional. Pemimpin seperti ini dan segala komandonya selalu dipatuhi oleh para pengikutnya yang dipandang dapat memimpinnya ke arah pencapaian tujuannya. Para pengikut mematuhinya, karena penghambaan diri, bukan karena hukum yang memaksanya untuk patuh. Menurut Weber tipe otoritas tradisional dan tipe kharismatik terdapat dalam hampir semua aktivitas organisasi sebelum adanya revolusi industri.

3.     Otoritas Legal-Rasional

Otoritas ini didasarkan atas aturan yang bersifat tidak pribadi impersonal yang ditetapkan secara legal. Kesetiaan atau kepatuhan adalah manakala seseorang melaksanakan otoritas kantornya hanya dengan loyalitas formal dan pimpinannya dan hanya dalam jangkauan otoritas kantornya. Otoritas legal-raisonal memang didasarkan atas aturan-aturan yang pasti. Aturan bisa saja terdapat perubahan untuk dapat mengikuti perubahan yang terjadi didalam lingkungannya secara sistematis, dan mengandung perkiraan masa mendatang.

Weber terkenal dengan konsepnya mengenai organisasi Birokrasi yang ideal dengan menyertakan 8 karakteristik struktural, antara lain :

Pertama, aturan-aturan yang disahkan, regulasi, dan prosedur yang distandarkan dan arah tindakan anggota organisasi dalam pencapaian tugas organisasi. Weber menggambarkan pengembangan rangkaian kaidah dan panduan spesifik untuk merencanakan tugas dan aktivitas organisasi.

Kedua, spesialisasi peran anggota organisasi memberikan peluang kepada divisi pekerja untuk menyederhanakan aktivitas pekerja dalam menyelesaikan tugas yang rumit. Dengan memecah tugas-tugas yang rumit ke dalam aktivitas khusus tersebut, maka produktivitas pekerja dapat ditingkatkan.

Ketiga, hirarki otoritas organisasi formal dan legitimasi peran kekuasaan anggota organisasi didasarkan pada keahlian pemegang jabatan secara individu, membantu mengarahkan hubungan intra personal di antara anggota organisasi guna menyelesaikan tugas-tugas organisasi.

Keempat, pekerjaan personil berkualitas didasarkan pada kemampuan tehnik yang mereka miliki dan kemampuan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka. Para manajer harus mengevaluasi persyaratan pelamar kerja secara logis, dan individu yang berkualitas dapat diberikan kesempatan untuk melakukan tugasnya demi perusahaan.

Kelima, mampu tukar personil dalam peran organisasi yang bertanggung jawab memungkinkan aktivitas organisasi dapat diselesaikan oleh individu yang berbeda.  Mampu tukar ini menekankan pentingnya tugas organisasi yang relatif untuk dibandingkan dengan anggota organisasi tertentu yang melaksanakan tugasnya-tugasnya.

Keenam, impersonality dan profesionalisme dalam hubungan intra personil di antara anggota organisasi mengarahkan individu ke dalam kinerja tugas organisasi. Menurut prinsipnya, anggota organisasi harus berkonsentrasi pada tujuan organisasi dan mengutamakan tujuan dan kebutuhan sendiri. Sekali lagi, ini menekankan prioritas yang tinggi dari tugas-tugas organisasi di dalam perbandingannya dengan prioritas yang rendah dari anggota organisasi individu.

Ketujuh, uraian tugas yang terperinci harus diberikan kepada semua anggota organisasi sebagai garis besar tugas formal dan tanggung jawab kerjanya. Pekerja harus mempunyai pemahaman yang jelas tentang keinginan perusahaan dari kinerja yang mereka lakukan.

Kedelapan, rasionalitas dan predictability dalam aktivitas organisasi dan pencapaian tujuan organisasi membantu meningkatkan stabilitas organisasi. Menurut prinsip dasarnya, organisasi harus dijalankan dengan kaidah dan panduan pemangkasan yang logis dan bisa diprediksikan.

Menurut Weber, jika kedelapan karakteristik di atas diaplikasikan ke dalam Birokrasi maka Birokrasi tersebut dapat dikatakan legal-rasional. Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin (superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya.

Weber memperhatikan fenomena kontrol superordinat atas subordinat. Kontrol ini, jika tidak dilakukan pembatasan, berakibat pada akumulasi kekuatan absolut di tangan superordinat. Akibatnya, organisasi tidak lagi berjalan secara rasional melainkan sesuai keinginan pemimpin belaka. Bagi Weber, perlu dilakukan pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada di dalam birokrasi, yang meliputi point-point berikut:

Kolegialitas. Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam pengambilan suatu keputusan. Weber mengakui bahwa dalam birokrasi, satu atasan mengambil satu keputusan sendiri. Namun, prinsip kolegialitas dapat saja diterapkan guna mencegah korupsi kekuasaan.

Pemisahan Kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih. Misalnya, untuk menyepakati anggaran negara, perlu keputusan bersama antara badan DPR dan Presiden. Pemisahan kekuasaan, menurut Weber, tidaklah stabil tetapi dapat membatasi akumulasi kekuasaan.

Administrasi Amatir. Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah tidak mampu membayar orang-orang untuk mengerjakan tugas birokrasi, dapat saja direkrut warganegara yang dapat melaksanakan tugas tersebut. Misalnya, tatkala KPU (birokrasi negara Indonesia) “kerepotan” menghitung surat suara bagi tiap TPS, ibu-ibu rumah tangga diberi kesempatan menghitung dan diberi honor. Tentu saja, pejabat KPU ada yang mendampingi dan mengawasi selama pelaksanaan tugas tersebut.

Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung berguna dalam membuat orang bertanggungjawab kepada suatu majelis. Misalnya, Gubernur Bank Indonesia, meski merupakan prerogatif Presiden guna mengangkatnya, terlebih dahulu harus di-fit and proper-test oleh DPR. Ini berguna agar Gubernur BI yang diangkat merasa bertanggung jawab kepada rakyat secara keseluruhan.

Representasi. Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat yang diangkat mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi, partai-partai politik dapat diandalkan dalam mengawasi kinerja pejabat dan staf birokrasi. Ini akibat pengertian tak langsung bahwa anggota DPR dari partai politik mewakili rakyat pemilih mereka. 

Dalam pandangan Weber, jika suatu organisasi memiliki dasar-dasar berupa prinsip-prinsip sebagaimana dikemukakan tersebut di atas, maka organisasi tersebut akan dapat mengatasi ketidakefisienan dan ketidakpraktisan yang sangat tipikal yang ditemukan pada banyak organisasi pada masa itu. Weber juga melihat bahwa birokrasi merupakan bentuk paling efisien dari suatu organisasi dan merupakan instrumen yang paling efisien dari kegiatan administrasi berskala besar. Jika orang membicarakan tentang organisasi, maka akan selalu kembali pada analisis dan pemikiran Weber. Hingga kini, pengertian orang mengenai birokrasi sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Max Weber. Tapi dari semua konsep pemikiran Birokrasi dari Max Weber bukan berarti semua setuju atau mengikuti konsepnya, ada sebagian orang yang menentang ataupun mengkritik konsep Birokrasi dari Max Weber itu, sehingga muncullah konsep lain selain dari konsep yang dimiliki oleh Max Weber..hehe..

Edisi selanjutkan saya akan mencoba memaparkan kritikan-kritikan dari beberapa orang yang tidak sepaham dengan Max Weber dan konsep lain tentang Birokrasi dari seseorang dibelakang Max Weber. Yah..ditunggu saja..tetap stay di Workshop Imagination Blogs..saya akan segera kembali..hahaii..


~Semoga Bermanfaat~

Kamis, 17 Oktober 2013

Posted by Unknown | File under :
Max Weber atau lebih lengapnya Maximilian Weber adalah seorang ahli ekonomi politik dan sosiolog dari Jerman yang dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu sosiologi dan administrasi negara modern. Max Weber lahir di Erfurt, Jerman pada tanggal 21 April 1864. Karya utamanya berhubungan dengan rasionalisasi dalam sosiologi agama dan pemerintahan, meskipun demikian ia juga sering menulis di bidang ekonomi. Max Waber berasal dari keluarga kelas menengah, perbedaan penting antara kedua orang tuanya berpengaruh besar terhadap orientasi intelektual dan perkembangan psikologi Weber. Ayahnya adalah seorang birokrat yang kedudukan politiknya relatif penting, dan menjadi bagian dari kekuasaan politik yang mapan dan sebagai akibatnya menjauhkan diri dari setiap aktivitas dan  dan idealisme yang memerlukan pengorbanan pribadi atau yang dapat menimbulkan ancaman terhadap kedudukannya dalam sistem. Lagi pula sang ayah adalah seorang yang menyukai kesenangan duniawi dan dalam hal ini, juga dalam berbagai hal lainnya, ia bertolak belakang dengan istrinya. Ibu Marx Weber adalah seorang Calvinis yang taat, wanita yang berupaya menjalani kehidupan prihatin (asetic) tanpa kesenangan seperti yang sangat menjadi dambaan suaminya. Perhatiannya kebanyakan tertuju pada aspek kehidupan akhirat; ia terganggu oleh ketidaksempurnaan yang dianggapnya menjadi pertanda bahwa ia terganggu oleh ketidaksempurnaan yang dianggapnya menjadi pertanda bahwa ia tak ditakdirkan akan mendapat keselamatan di akhirat. Perbedaan mendalam antara kedua pasangan ini menyebabkan ketegangan perkawinan mereka dan ketegangan ini berdampak besar terhadap Weber.

Karena tak mungkin menyamakan diri terhadap pembawaan orang tuanya yang bertolak belakang itu, Weber kecil lalu berhadapan dengan suatu pilihan jelas (Marianne Weber, 1975:62). Mula-mula ia memilih orientasi hidup ayahnya, tetapi kemudian tertarik makin mendekati orientasi hidup ibunya. Apapun pilihannya, ketegangan yang dihasilkan oleh kebutuhan memilih antara pola yang berlawanan itu berpengaruh negatif terhadap kejiwaan Weber. Ketika berumur 18 tahun Weber minggat dari rumah, belajar di Universitas Heildelberg. Weber telah menunjukkan kematangan intelektual, tetapi ketika masuk universitas ia masih tergolong terbelakang dan pemalu dalam bergaul. Sifat ini cepat berubah ketika ia condong pada gaya hidup ayahnya dan bergabung dengan kelompok mahasiswa saingan kelompok mahasiswa ayahnya dulu. Secara sosial ia mulai berkembang, sebagian karena terbiasa minum bir dengan teman-temannya. Lagipula ia dengan bangga memamerkan parutan akibat perkelahian yang menjadi cap kelompok persaudaraan mahasiswa seperti itu. Dalam hal ini Weber tak hanya menunjukkan jati dirinya sama dengan pandangan hidup ayahnya tetapi juga pada waktu itu memilih karir bidang hukum seperti ayahnya.

Setelah kuliah tiga semester Weber meninggalkan Heidelberg untuk dinas militer dan tahun 1884 ia kembali ke Berlin, ke rumah orang tuanya, dan belajar di Universitas Berlin. Ia tetap disana hampir 8 tahun untuk menyelesaikan studi hingga mendapat gelar Ph.D., dan menjadi pengacara dan mulai mengajar di Universitas Berlin. Dalam proses itu minatnya bergeser ke ekonomi, sejarah dan sosiologi yang menjadi sasaran perhatiannya selama sisa hidupnya. Selama 8 tahun di Berlin, kehidupannya masih tergantung pada ayahnya, suatu keadaan yang segera tak disukainya. Pada waktu bersamaan ia beralih lebih mendekati nilai-nilai ibunya dan antipatinya terhadapnya meningkat. Ia lalu menempuh kehidupan prihatin (ascetic) dan memusatkan perhatian sepenuhnya untuk studi. Misalnya, selama satu semester sebagai mahasiswa, kebiasaan kerjanya dilukiskan sebagai berikut : “Dia terus mempraktikkan disiplin kerja yang kaku, mengatur hidupnya berdasarkan pembagian jam-jam kegiatan rutin sehari-hari ke dalam bagian-bagian secara tepat untuk berbagai hal. Berhemat menurut caranya, makan malam sendiri dikamarnya dengan 1 pon daging sapi dan 4 buah telur goreng” (Mitzman, 1969/1971:48; Marianne Weber, 1975:105). Jadi, dengan mengikuti ibunya, Weber menjalani hidup prihatin, rajin, bersemangat kerja, tinggi dalam istilah modern disebut Workaholic (gila kerja). Semangat kerja yang tinggi ini mengantarkan Weber menjadi profesor ekonomi di Universitas Heidelberg pada 1896. Pada 1897, ketika karir akademis Weber berkembang, ayahnya meninggal setelah terjadi pertengkaran sengit antara mereka. Tak lama kemudian Weber mulai menunjukkan gejala yang berpuncak pada gangguan safaf. Sering tak bisa tidur atau bekerja, dan enam atau tujuh tahun berikutnya dilaluinya dalam keadaan mendekati kehancuran total. Setelah masa kosong yang lama, sebagian kekuatannya mulai pulih di tahun 1903, tapi baru pada 1904, ketika ia memberikan kuliah pertamanya (di Amerika) yang kemudian berlangsung selama 6,5 tahun, Weber mulai mampu kembali aktif dalam kehidupan akademis tahun 1904 dan 1905 ia menerbitkan salah satu karya terbaiknya. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Dalam karya ini Weber mengumumkan besarnya pengaruh agama ibunya di tingkat akademis. Weber banyak menghabiskan waktu untuk belajar agama meski secara pribadi ia tak religius.

Meski terus diganggu oleh masalah psikologis, setelah 1904 Weber mampu memproduksi beberapa karya yang sangat penting. Ia menerbitkan hasil studinya tentang agama dunia dalam perspektif sejarah dunia (misalnya Cina, India, dan agama Yahudi kuno). Menjelang kematiannya (14 Juni 1920) ia menulis karya yang sangat penting, Economy and Society. Meski buku ini diterbitkan, dan telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, namun sesungguhnya karya ini belum selesai. Selain menulis berjilid-jilid buku dalam periode ini, Weber pun melakukan sejumlah kegiatan lain. Ia membantu mendirikan German Sociological Society di tahun 1910. Rumahnya dijadikan pusat pertemuan pakar berbagai cabang ilmu termasuk sosiologi seperti Georg Simmel, Alfred, maupun filsuf dan kritikus sastra Georg Lukacs (Scaff, 1989:186:222). Weberpun aktif dalam aktivitas politik dimasa itu. Ada ketegangan dalam kehidupan Weber dan, yang lebih penting, dalam karyanya, antara pemikiran birokratis seperti yang dicerminkan oleh ayahnya dan rasa keagamaan ibunya. Ketegangan yang tak terselesaikan ini meresapi karya Weber maupun kehidupan pribadinya.

Maximilian Weber adalah seorang ahli ekonomi politik dan sosiolog dari Jerman yang dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu sosiologi dan administrasi negara modern.

Lahir : 21 April 1864, di Enfurt, Jerman
Wafat : 14 Juni 1920, di Munchen, Jerman
Istri : Marianne Weber
Orang Tua : Max Weber Sr & Helene Fallenstein
Karya Terkenal : Etika Protestan & Semangat Kapitalisme, 8 Karakteristik Ideal Birokrasi
Pendidikan : Universitas Humboldt Berlin (1884-1889), Universitas Ruprecht Karl Heidelberg (1882-1884)

Sabtu, 12 Oktober 2013

Posted by Unknown | File under :
Pada artikel sebelumnya telah dijelaskan sejarah dan definisi dari Birokrasi, kali ini saya akan menjelaskan sedikit tentang karakteristik dari Birokrasi. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Birokrasi dimaksudkan sebagai kekuasaan dipegang oleh orang-orang di belakang meja, karena segala sesuatunya telah diatur secara legal dan formal oleh para Birokrat, Birokrat itu adalah sebutan untuk orang-orang yang berada dibelakang meja itu tadi, itu bahasa kerennya "Birokrat"..hehe.. Namun demikian diharapkan pada pelaksanaannya kekuasaan tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun dihadapan publik dan sejelas-jelasnya karena setiap jabatan diurus oleh orang yang khusus.

Seperti apa yang dinyatakan oleh Blau dan Page, bahwa Birokrasi dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas administrasi yang besar. Hal itu hanya berlaku pada organisasi besar seperti pemerintahan, karena organisasi pemerintahan segala sesuatu diatur secara formal, sedangkan pada organisasi kecil hanya diperlukan hubungan informal. Selama ini banyak pakar yang meneliti dan menulis tentang Birokrasi bahwa fungsi staff pegawai administrasi harus memiliki cara-cara yang spesifik agar lebih efektif dan efisien.

Berikut 11 karakteristik dari Birokrasi yang efektif dan efisien :

1. Bekerja sesuai dengan aturan (rule)
2. Tugas yang khusus (spesialisasi)
3. Kaku dan sederhana (rigid & simple)
4. Penyelenggaraan yang resmi (formal) 
5. Pengaturan dari atas ke bawah (hirarkis)
6. Berdasarkan logika (rasional)
7. Tersentralistik (otoritas)
8. Taat dan patuh (obedience)
9. Tidak melanggar ketentuan (discipline)
10. Terstruktur (sistematis)
11. Tanpa pandang bulu (impersonal)

Berikut 8 karakteristik Birokrasi dari Max Waber, saya perkenalkan dulu Max Waber ini dijuluki sebagai "Bapak Birokrasi". Mengapa beliau dijuluki sebagai Bapaknya Birokrasi?? Nanti kita bahas pada artikel selanjutnya. Untuk kali ini saya mau menjabarkan 8 karakteristik Birokrasi yang dibuat-Nya dulu..hehe..

1. Organisasi yang disusun secara hirarkis

2. Setiap bagian memiliki wilayah kerja khusus

3. Pelayanan publik terdiri atas orang-orang yang diangkat, bukan dipilih, dimana pengangkatan tersebut didasarkan pada kualifikasi kemampuan, jenjang pendidikan, dan melalui pengujian.

4. Pelayan publik menerima gaji sesuai posisi

5. Pekerjaan sekaligus merupakan jenjang karir

6. Para pejabat/pekerja tidak memiliki sendiri kantor mereka

7. Setiap pekerja dikontrol dan harus disiplin

8. Promosi yang ada didasarkan penilaian atasan

Hal-hal tersebut diatas merupakan prinsip dasar dan karakteristik yang ideal dari suatu Birokrasi. Apa yang telah dikemukakan oleh Max Waber tentang 8 karakteristik Birokrasi yang ideal itu adalah pelopor dari munculnya karakter-karakter yang lain dari Birokrasi itu sendiri, salah satu contohnya 11 karakteristik Birokrasi yang efektif dan efisien diatas merupakan pengembangan dari 8 karakteristik yang disampaikan oleh Max Waber. Tidak menutup kemungkinan akan ada banyak karakteristik yang akan menyempurnakan 8 karakteristik dari Max Waber tersebut, tentunya itu akan sejalan dengan perubahan jaman dan kebutuhannya. 

Yah, karakteristik tersebut idealnya memang harus dimiliki oleh para Birokrat agar tugas-tugas administrasi yang besar dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien sehingga tujuan organisasi dapat tercapai sesuai yang direncanakan. Dengan demikian pendapat kebanyakan orang tentang Birokrasi yang cenderung negatif dapat diluruskan dan tentunya dipahami serta dimengerti juga dijalankan sesuai aturan dan prosedur yang berlaku tentunya..OKLAY.


Posted by Unknown | File under :

Birokrasi merupakan sesuatu yang sudah tidak asing lagi bagi sebagian orang karena Birokrasi sudah menjadi satu kesatuan didalam sistem pemerintahan maupun organisasi. Apapun yang kita lakukan kadang kala terbentur dengan yang namanya Birokrasi. Menurut pendapat sebagian orang Birokrasi itu adalah proses yang sangat berbelit-belit, buang-buang waktu, dan kadangkala orang menyimpulkan bahwa Birokrasi itu ujung-ujungnya adalah biaya yang sangat mahal (high cost). Pendapat yang seperti itu tidaklah dapat disalahkan seluruhnya, karena andai kata orang-orang yang duduk dibelakang meja taat pada prosedur dan aturan serta disiplin dalam menjalankan tugasnya, maka Birokrasi akan berjalan lancar dan gak akan ada yang namanya high cost itu tadi.

Untuk meluruskan pemikiran-pemikiran tersebut, kita dapat menyimak dan memahami pendapat para pakar/ahli mengenai apa yang dimaksud dengan Birokrasi itu sendiri.

Birokrasi yang dalam bahasa Inggris "Bureaucracy" berasal dari kata "Bureau" yang artinya meja dan "Cratein" yang artinya kekuasaan. Maksudnya adalah kekuasaan berada pada orang-orang yang di belakang meja.

Menurut Bintoro Tjokroamidjojo (1984), "Birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang". Dengan demikian sebenarnya tujuan dari Birokrasi adalah agar pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat dan terorganisir. Bagaimana suatu pekerjaan yang banyak jumlahnya harus diselesaikan oleh banyak orang sehingga tidak terjadi tumpang tindih didalam penyelesaiannya, itulah yang sebenarnya menjadi tugas dari Birokrasi.

Blau dan Page (1956) mengemukakan "Birokrasi sebagai tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang". Jadi menurut Blau dan Page, Birokrasi justru untuk melaksanakan prinsip-prinsip organisasi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi administratif, meskipun kadangkala didalam pelaksanaannya Birokratisasi seringkali mengakibatkan adanya ketidakefisienan.

Dengan mengutip pendapat dari Mouzelis, Ismani (2001) mengemukakan "Bahwa dalam Birokrasi terdapat aturan-aturan yang rasional, struktur organisasi dan proses berdasarkan pengetahuan teknis dan dengan efisiensi dan setinggi-tingginya. Dari pandangan yang demikian tidak sedikitpun alasan untuk menganggap Birokrasi itu jelek dan tidak efisien.

Dengan megutip pendapat Fritz Morstein Marx, Bintoro Tjokroamidjojo (1984) mengemukakan bahwa Birokrasi adalah "Tipe oganisasi yang dipergunakan pemerintahan modern untuk pelaksanaan tugas-tugas yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi yang khususnya oleh aparatur pemerintahan".

Dengan mengutip Blau dan Meyer, Dwijowijoto (2004) menjelaskan bahwa "Birokrasi adalah suatu lembaga yang sangat kuat dengan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas-kapasitas potensial terhadap hal-hal yang baik maupun buruk dalam keberadaannya sebagai instrumen administrasi rasional yang netral pada skala yang besar". Selanjutnya dikemukakan bahwa "Didalam masyarakat modern, dimana terdapat begitu banyak urusan dan terus-menerus, hanya organisasi Birokrasi yang mampu menjawabnya".

Jadi kesimpulannya, Birokrasi adalah Suatu prosedur didalam sistem yang harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar tujuan dari organisasi dapat tercapai secara efektif dan efisien.

Jumat, 11 Oktober 2013

Posted by Unknown | File under :

Konsep Birokrasi pertama kali dimunculkan oleh M DE GOURNEY, melalui surat tertanggal 1 Juli 1764 yang ditulis Baran de Grim, merujuk pada gagasan Gourney yang mengeluh tentang pemerintahan yang melayani dirinya sendiri. De Gourney menyebutkan kecenderungan itu sebagai penyakit yang disebut Bureaumania

Ide tentang Birokrasi bukan sesuatu yang baru. Merupakan suatu kekeliruan kalau kita mengira konsep ini baru mucul. Keluhan atas pemerintahan pun bukan sesuatu yang baru, yaitu setua usia pemerintahan itu sendiri. Juga, prinsip pemerintah harus dijalankan orang-orang yang baik dan handal merupakan ide yang sudah lama berkembang di lingkungan filsuf baik barat maupun timur. Machiavelli misalnya, dalam nasehatnya kepada pageran, meminta pangeran memilih menteri yang cakap dan menggaji mereka agar mereka tidak mencari penghasilan dari sumber lain. Bahkan ide pemerintahan yang efektive dan effisien, sangat akrab di negeri Cina sebelum Masehi. Diantaranya ide tentang senioriotas, sistem 'merit' statistik resmi dan laporan tertulis diprakrikkan secara luas. Sementara pada 337 sebelum Masehi, Sen Pu-Hai menulis serangkai prinsip yang sangat erat terkait dengan prinsip yang dikembangkan dalam Teori Administrasi abad 20. 

Sejak kemunculan gagasan De Gourney, istilah Birokrasi diadobsi secara luas dalam kamus politik di Eropa selama abad 18. Istilah dalam bahasa Perancis "Bureaucratie" ini, dengan cepat diadobsi dalam makna yang sama di Jerman dengan sebutan "Bureaukratie" kemudian menjadi "Burokratie", di Italia menjadi "Burocrazia" dan di Inggris "Bureaucracy". Derivasi dari istilah Birokrasi juga berkembang secara luar biasa selepas periode De Gourney ini. Muncul istilah Birokrat, Birokratis, Birokratisme, Birokratik, dan Birokratisasi. Kamus Perancis, 1798, mendifinisikan Birokrasi sebagai Kekuasaan, Pengaruh dari Pemimpin, dan staff dari Biro Pemerintahan (Governmental Bureaux). Sedangkan kamus Jerman, 1813, merumuskan Birokrasi sebagai Kewenangan dan Kekuasaan, dimana semua departemen pemerintahan dan cabangnya merebut Kewenangan dan Kekuasaan itu dari warga negara untuk mereka sendiri. Padahal istilah dasarnya adalah "Bureau" yang artinya Meja Tulis, yang bermakna Tempat Pejabat Bekerja. 

Meskipun demikian, penggunaan awal serta penyebarluasan istilah Birokrasi justru dilakukan oleh seorang Novelis. Balsac, salah seorang yang bertanggungjawab dan konsisten dalam penyebaran istilah Birokrasi lewat sebuah Novelnya yang berjudul "Les Employes" pada tahun 1836. Kemudian diadobsi sebagai konsep yang serius oleh Frederic Le Play pada tahun 1864, ketika ia membicarakan tentang Birokratisme yaitu tingkahlaku dan sepak terjang dari pejabat professional yang merugikan warga negara. Karenanya Frederic Le Play "Seorang Sosialis Besar Perancis" harus meminta maaf atas penggunaan Hibrida yang diciptakan dalam sebuah Novel ringan. Tema Birokratisme di Elaborasi secara mendetail oleh Josef Oldszenki tahun 1904, seorang pembela Polandia yang berutang pada pemikiran dalam esai Mohl yang membicarakan tentang penyalahgunaan yang dilakukan Birokrasi. Hingga 1896, Birokrasi daalam kamus politik Perancis disebutkan berasal dari Jerman dan dipopulerkan oleh Balsac. 

Konsep Birokrasi ini meluas sampai ke Inggris melalui terjemahan sebuah karya berbahasa Jerman, karya Gorres yan berjudul "Germany and the Revolution" pada tahun 1918, dan diterjemahkan ke Bahasa Inggris dalam 2 versi yang berbeda pada tahun 1820. Istilah Bureaukratisch dihindari untuk diterjemahkan sebagai Bureaucratic. Sementara pada terjemahan surat perjalanan seorang pangeran (1832) menyebutkan, Birokrasi telah menggantikan tempat dari Aristokrasi dan kemungkinan besar akan segera menjadi sama posisinya. Pada perkembangan selanjutnya, kamus berikutnya mulai menyebutkan istilah ini. Spancer, juga mulai menulis di bukunya tentang Birokrasi dengan mengacu pada Kamus Perancis. 

Mills dalam karyanya "Priciple of Political Economy" tahun 1848, menempatkan diri sebagai penentang dari konsentrasi keterampilan dan pengalaman serta kekuasaan dari tindakan yang terorganisasi ditangan menejemen kepentingan yang luas. Ia menyebutnya sebagai "Dominant Bureaucracy" yang muncul dalam masyarakat Inggris. Mills menegaskan, kecenderungan itu merupakan "a main of the inferior capacity for political life" yang menandai karakteristik dari Negara yang "Over Governed" kala itu. Mills, dalam "Considerations On Representative Government" membandingkan, di luar pemerintahan perwakilan maka bentuk pemerintahan yang memiliki keterampilan politik yang tinggi adalah Birokrasi. Bahkan Birokrasi berjalan dengan nama Monarchi atau Aristokrasi sekalipun. Disini Mills menggambarkan esensi Birokrasi sebagai pemerintahan yang dikendalikan oleh mereka yang Professional (Governors by Profession).